Suara.com - Sebuah perbandingan laba yang mencolok antara dua maskapai penerbangan, Garuda Indonesia dan Singapore Airlines, baru-baru ini menjadi sorotan tajam di media sosial, dipicu oleh unggahan akun netizen terkait bisnis.
Unggahan tersebut mengungkap disparitas finansial yang signifikan, di mana Singapore Airlines dilaporkan meraih laba fantastis sebesar Rp35 triliun, berbanding terbalik dengan Garuda Indonesia yang justru mencatatkan kerugian sebesar Rp1,2 triliun. Bahkan, maskapai global raksasa seperti Emirates Airways disebut mampu membukukan laba hingga Rp70 triliun.
Data ini sontak memicu gelombang pertanyaan di kalangan publik, terutama mengenai faktor-faktor fundamental yang menyebabkan maskapai kebanggaan Indonesia, yang dikenal dengan citra premiumnya, harus berkutat dengan kerugian yang sedemikian besar. Kontras dengan Singapore Airlines yang bahkan mampu memberikan bonus fantastis kepada stafnya.
Bahkan, berdasarkan penelusuran terkait menyebutkan bahwa keuntungan Singapore Airlines itu juga berdampak pada pekerja dengan memberikan bonus kepada karyawan setara dengan 7,45 bulan gaji.
Jurang finansial yang begitu lebar ini menimbulkan tanda tanya besar di benak banyak pihak. Bagaimana mungkin maskapai yang harga tiketnya seringkali dianggap tidak ekonomis justru mengalami kerugian yang mendalam?
Berbagai spekulasi pun bermunculan untuk menjelaskan kondisi keuangan Garuda Indonesia. Mulai dari dugaan pengelolaan keuangan yang tidak disiplin dan efisien, beban utang yang menggunung, hingga isu adanya praktik korupsi dan upaya memperkaya diri sendiri di internal maskapai.
Catatan keuangan Garuda Indonesia memang memperlihatkan beban utang yang sangat besar, mencapai angka Rp120 triliun. Jumlah ini bahkan disebut-sebut lebih tinggi dibandingkan dengan total aset yang dimiliki perusahaan saat ini, sebuah indikasi kondisi finansial yang sangat mengkhawatirkan. Akumulasi utang sebesar ini tentu tidak terjadi dalam waktu singkat.
Kuat dugaan bahwa manajemen yang kurang efektif di masa lalu, skandal suap yang pernah mencuat, serta kontrak-kontrak yang meragukan dengan pabrikan pesawat, memaksa perusahaan untuk mengambil keputusan bisnis dan finansial yang tidak rasional, yang pada akhirnya terus menggerogoti kinerja keuangannya.
Meskipun berbagai spekulasi terus berkembang, Direktur Utama Garuda Indonesia pada akhir tahun 2024 lalu sempat menyampaikan bahwa kinerja keuangan perusahaan masih sangat dipengaruhi oleh berbagai tantangan eksternal yang kompleks. Selain itu, beban operasional usaha yang tinggi juga disebut menjadi salah satu faktor utama penyebab kerugian yang dialami Garuda Indonesia sepanjang tahun 2024.
Baca Juga: Yodya Karya Banting Stir Jadi Agrinas Pangan Nusantara, Ini Tugasnya
Salah satu catatan penurunan kinerja yang paling drastis terlihat pada pendapatan lain-lain bersih perusahaan, yang mengalami penurunan tajam sebesar 77,39% jika dibandingkan dengan perolehan pada tahun 2023. Penurunan signifikan ini menjadi pukulan berat lainnya bagi upaya Garuda Indonesia untuk terus bertahan dan berjuang kembali menuju kondisi keuangan yang sehat.