Suara.com - Indonesian Business Council (IBC) baru saja meluncurkan riset terobosan yang tak hanya sekadar laporan, melainkan sebuah cetak biru ambisius untuk membangun sektor keuangan Indonesia yang lebih tangguh, inklusif, dan efisien.
Riset ini, yang dibingkai dalam delapan makalah komprehensif, menawarkan rekomendasi kebijakan krusial demi memuluskan jalan menuju pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang kuat dan merata.
Sofyan Djalil, Chief Executive Officer IBC, tak ragu menyatakan bahwa Indonesia kini membutuhkan sistem keuangan yang lebih likuid, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan riil perekonomian.
"Jika ingin perekonomian tumbuh pesat, kita harus punya itu," tegas Sofyan dalam acara peluncuran riset dan rekomendasi kebijakan "Pembangunan Sektor Keuangan untuk Pertumbuhan yang Kuat dan Merata" di Hotel Shangri-la Jakarta, Rabu (21/5/2025).
Ia menyoroti sejumlah kendala yang masih membayangi: tingkat likuiditas di Indonesia yang masih rendah, biaya pendanaan yang cukup tinggi, serta koordinasi lintas lembaga dan pengembangan instrumen jangka panjang yang terbatas. Oleh karena itu, reformasi kelembagaan dinilai mutlak untuk memastikan lembaga keuangan memiliki mandat yang jelas dan tata kelola yang mumpuni.
Dalam rekomendasi kebijakan andalannya, IBC mengusulkan agar Kementerian Keuangan diberikan peran yang lebih kuat sebagai "dirigen" dalam pengembangan sektor keuangan. Kementerian ini diharapkan mampu memimpin koordinasi lintas lembaga, melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Bank Indonesia (BI), demi terciptanya sinergi yang harmonis.
Sofyan menekankan pentingnya penyusunan peta jalan tunggal lintas lembaga yang melibatkan seluruh pihak kunci tersebut. Tujuannya jelas: agar upaya penguatan sektor keuangan menjadi lebih terarah, efektif, dan tak lagi berjalan sendiri-sendiri.
Sektor keuangan yang ideal, menurut IBC, harus memiliki kedalaman yang baik, artinya dana beredar cukup tinggi dan sistem keuangan sangat likuid. Dengan sistem semacam itu, siapapun bisa mengakses produk-produk keuangan, terutama untuk kebutuhan permodalan. Tak hanya itu, efisiensi pada sektor keuangan akan memicu daya saing dalam layanan, yang pada gilirannya akan mendorong tingkat bunga yang lebih rendah, sehingga lebih terjangkau bagi pelaku usaha dan masyarakat.
IBC menyambut baik langkah pemerintah yang baru-baru ini membentuk Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan di bawah Kementerian Keuangan. Ini dinilai sebagai langkah awal penting untuk menghadirkan kepemimpinan dan mendorong harmonisasi kebijakan keuangan nasional.
Baca Juga: Program Warisan Cara Industri Asuransi Hadapi Tarif Trump dan PHK
Prayoga Wiradisuria, Direktur Kebijakan dan Program IBC, optimistis bahwa dengan adanya lembaga yang fokus pada pengembangan sektor keuangan, inovasi instrumen keuangan akan berkembang pesat. Ia menyebutkan beberapa contoh instrumen yang potensial, seperti project finance bonds untuk pendanaan proyek infrastruktur, Real Estate Investment Trusts (REITs) untuk mendorong investasi hunian, hingga municipal bonds untuk pembiayaan fasilitas infrastruktur daerah.
"Pada saat yang sama, upaya ini bisa membuka ruang investasi yang lebih luas bagi dana pensiun dan asuransi. Beragam instrumen keuangan ini akan meningkatkan likuiditas dan kedalaman sektor keuangan," pungkas Prayoga.
Riset dan rekomendasi IBC ini menjadi suara lantang dari dunia usaha yang berharap sektor keuangan Indonesia mampu bertransformasi menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat, merata, dan berkelanjutan. Akankah rekomendasi-rekomendasi ini menjadi kenyataan dan membawa sektor keuangan Indonesia ke babak baru kejayaan? Kita tunggu saja implementasinya.
Dalam risetnya, IBC membahas delapan isu yang harus diperbaiki serta rekomendasi agar tercipta sektor keuangan yang kuat. Delapan isu tersebut masing-masing adalah:
1. Inovasi Produk Keuangan untuk Meningkatkan Opsi Pembiayaan
2. Meningkatkan Akses Kredit untuk UMKM melalui Agunan Aset dan Sistem Informasi
Kredit
3. Meningkatkan Efisiensi Keuangan melalui Konsolidasi Perbankan
4. Menavigasi Strategi untuk Meningkatkan Sovereign Rating
5. Menyeimbangkan Level Playing-field Perpajakan antara Sektor Keuangan dan Non Keuangan
6. Mengelola Kredit Bermasalah (Non Performing Loan) melalui Manajemen Aset
7. Memperluas Cakupan Keuangan melalui Program Reformasi
8. Memanfaatkan Potensi Pembiayaan Hijau