Suara.com - PT Maruwa Indonesia, sebuah perusahaan di Kawasan Bintang Industri II, Tanjunguncang, Batam, menghadapi situasi kritis setelah Komisaris Utama dan pemegang saham mayoritas, Yutaka Shibata, dilaporkan telah meninggalkan Indonesia bersama dua eksekutif Jepang lainnya. Fakta ini terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV DPRD Batam dengan Kantor Imigrasi Batam pada Rabu, 28 Mei 2025.
Kepala Bidang Intelijen dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Batam, Jefrico Daud Marturia, mengonfirmasi bahwa dari empat petinggi asing perusahaan, hanya satu yang masih berada di Indonesia. “Tiga sudah keluar wilayah Indonesia,” ungkap Jefrico.
Shibata sebelumnya menjadi pusat perhatian publik karena sikapnya yang pasif saat dikepung oleh para buruh yang menuntut hak-hak mereka. Namun, sebelum adanya proses hukum yang jelas, ia berhasil meninggalkan tanah air tanpa tindakan pencegahan.
Imigrasi Batam menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kewenangan langsung untuk mencegah kepergian tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Keimigrasian, keputusan pencegahan hanya dapat dikeluarkan oleh Menteri atas permintaan dari aparat penegak hukum atau lembaga berwenang lainnya.
Profil PT Maruwa
PT Maruwa Indonesia, perusahaan yang telah beroperasi di Batam sejak tahun 1999 dalam bidang Flexible Printed Circuit (FPC), secara mendadak menghentikan aktivitas produksinya sejak awal April 2025. Penutupan operasional ini memunculkan pertanyaan mengenai sejarah dan perjalanan panjang induk perusahaan, Maruwa Corporation, yang memiliki akar kuat dalam industri manufaktur Jepang.
Maruwa Corporation didirikan pada tahun 1945 oleh Yoshiro Kanbe. Awalnya, perusahaan ini bergerak di bidang penjualan produk keramik porselen di kota Seto, Prefektur Aichi, Jepang. Produk-produk keramik tersebut tidak hanya diproduksi, tetapi juga diekspor, menandai awal ekspansi Maruwa ke pasar global.
Dekade 1960-an menjadi titik balik penting bagi Maruwa. Merespons perkembangan pesat kebutuhan pasar, Maruwa melakukan diversifikasi bisnisnya dan beralih fokus ke bidang komponen elektronik. Transisi ini mencakup produksi keramik khusus untuk peralatan komunikasi serta keramik untuk chip resistor. Langkah strategis ini menempatkan Maruwa di garis depan industri elektronik yang sedang berkembang pesat pada masa itu.
Pada tahun 1973, Yoshiki Kanbe, generasi kedua dari keluarga pendiri, mendirikan Maruwa Ceramic Co Ltd. Perusahaan baru ini menandai langkah lebih jauh dalam spesialisasi produksi, dengan fokus pada chip resistors. Seiring dengan peningkatan permintaan, Maruwa kemudian membangun pabrik di Aichi pada tahun 1981, memperkuat kapasitas produksinya.
Baca Juga: Perihnya Diari Cinta di Film Even If This Love Disappear from the World Tonight
Dikutip dari Batamnews, penyebab utama di balik keterlambatan pembayaran gaji dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di PT Maruwa Indonesia: strategi akuisisi sepihak yang tidak berhasil.
Menurut Aris Sianturi, Manager Production Control PT Maruwa Indonesia, induk perusahaan, Maruwa Corporation yang berbasis di Malaysia, sebelumnya berencana mengakuisisi dua anak usahanya, yaitu Maruwa Malaysia dan Maruwa Indonesia. Namun, rencana ini tidak berjalan sesuai harapan. Hanya Maruwa Malaysia yang berhasil diakuisisi oleh investor dari Hong Kong, sementara unit di Batam justru ditinggalkan.
Akibat dari kegagalan akuisisi ini, pasokan bahan baku ke pabrik Batam terhenti secara total, menyebabkan proyek-proyek terganggu, dan pada akhirnya, ratusan karyawan kehilangan pekerjaan mereka. "Yang dijual cuma satu, padahal kami satu sistem produksi. Kami tidak bisa kerja tanpa material dari Malaysia," jelas Aris, menggambarkan ketergantungan operasional antara kedua unit perusahaan tersebut.
Aris juga mengungkapkan bahwa nilai aset perusahaan di Batam saat ini hanya sekitar Rp2 miliar, jauh di bawah total kewajiban perusahaan terhadap karyawan yang mencapai Rp14 miliar. Karyawan menuntut agar dana yang diperoleh dari hasil penjualan perusahaan Maruwa Malaysia dapat digunakan untuk membayar hak-hak mereka yang tertunda.
Alih-alih memberikan solusi konkret atas tuntutan karyawan, pihak manajemen PT Maruwa Indonesia justru menunjuk dua likuidator, yaitu Nico Lambert dan Salmon. Pertemuan antara perwakilan karyawan dan tim likuidasi bahkan harus dikawal oleh aparat keamanan, yang semakin memperjelas kebuntuan komunikasi dan ketegangan yang terjadi antara kedua belah pihak.
Menanggapi situasi ini, Ketua Komisi IV DPRD Batam, Dandis Rajagukguk, menyayangkan kepergian para petinggi asing tersebut sebelum masalah tuntas. Ia menegaskan komitmen DPRD Batam untuk mengawal seluruh proses penyelesaian kasus ini. Tujuan utamanya adalah memastikan agar para pekerja tidak dirugikan dan pihak-pihak yang bertanggung jawab tidak dapat melepaskan diri dari kewajiban hukum mereka.