Suara.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati blak-blakan soal alasan di balik keengganan investor melirik proyek infrastruktur di Indonesia. Menurut Sri Mulyani, ketidakjelasan rencana pendanaan proyek menjadi biang kerok utama kaburnya para investor.
Dalam acara International Conference on Infrastructure (ICI) di Jakarta International Convention Center (JICC pekan ini, Sri Mulyani menegaskan pentingnya pendanaan (funding) yang kredibel sebagai dasar untuk pembiayaan (financing) proyek-proyek infrastruktur.
"Jika proyek (infrastruktur) tak punya rencana pendanaan kredibel, artinya tidak jelas siapa yang akan membayar, tidak penting seberapa bagus struktur pembiayaannya, investor akan tersenyum, mengangguk dan kabur," ujar Sri Mulyani dengan lugas.
Ia pun mendorong adanya kebijakan pendanaan yang tepat, terutama mengingat Indonesia menghadapi tantangan ruang fiskal yang terbatas. Sri Mulyani mewanti-wanti agar pemerintah tidak terjebak dalam struktur proyek yang terlihat menjanjikan namun tidak realistis, karena hal itu berisiko mengembalikan pada cara-cara yang tidak efisien.
Lebih lanjut, Sri Mulyani juga mengingatkan agar struktur pembiayaan yang dirancang benar-benar diselaraskan dengan risiko yang menyertai. Dengan begitu, perancang proyek dapat mencari solusi yang relevan agar proyek bisa berjalan lancar.
"Kami percaya pentingnya mencocokkan struktur pembiayaan dengan risikonya. Solusi nyata dalam masalah pembangunan infrastruktur terletak pada pemilihan proyek; persiapan; penetapan harga yang kredibel; dan kalau perlu subsidi transparan, terukur dan bijaksana," tandas Sri Mulyani, memberikan penekanan pada transparansi dan kehati-hatian dalam setiap langkah.
Disisi lain mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebut bahwa total kebutuhan investasi infrastruktur untuk periode 2025-2029 diperkirakan mencapai angka fantastis US$ 625,37 miliar.
"Total kebutuhan investasi infrastruktur untuk periode 2025 hingga 2029 diperkirakan sekitar US$ 625 miliar," ujar Sri Mulyani, seraya menambahkan bahwa anggaran pemerintah, baik pusat maupun daerah, hanya mampu menutupi sekitar 40% dari total kebutuhan tersebut.
Kesenjangan pendanaan yang masif ini, menurut Sri Mulyani, menandakan urgensi partisipasi aktif dari sektor swasta dan dukungan dari berbagai mitra internasional. Tak hanya itu, diperlukan juga mekanisme pendanaan yang inovatif untuk mengisi defisit anggaran ini.
Baca Juga: Lantik Ratusan Pejabat Baru, Sri Mulyani Ingatkan Harus Bantu Program Prabowo
Menkeu Sri Mulyani juga menyoroti bagaimana prioritas pembangunan domestik ini bersinggungan dengan tekanan global yang meningkat. Ia menyebutkan berbagai isu, mulai dari perang dagang hingga ketegangan geopolitik di berbagai kawasan, yang berdampak pada ketidakstabilan dan fragmentasi.
"Dunia saat ini penuh dengan ketegangan geopolitik yang terus-menerus, yang mengakibatkan fragmentasi dan ketidakstabilan di seluruh negara dan kawasan, prospek ekonomi global tidak bagus," jelasnya.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi global pun menjadi sorotan. Sri Mulyani mengutip perkiraan OECD yang menunjukkan penurunan pertumbuhan PDB global dari 3,4 persen pada tahun 2024 menjadi hanya 2,9 persen pada tahun 2025. Bahkan, Bank Dunia baru-baru ini melaporkan bahwa peningkatan ekonomi global pada tahun 2025 diperkirakan akan turun 0,4 persen menjadi hanya 2,3 persen.
Tantangan ini semakin diperparah dengan risiko iklim yang semakin intensif. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) bahkan memperkirakan peningkatan temperatur global akan mencapai rekor tertinggi dalam lima tahun ke depan. Kondisi ini menuntut pendekatan baru dalam pembangunan infrastruktur.
"Dengan peningkatan perubahan iklim membutuhkan level infrastruktur yang baru yaitu resiliensi. Cuaca ekstrem, transisi energi, dan degradasi lingkungan membutuhkan kita untuk melewati pembangunan fisik dan mengintegrasikan kesejahteraan jangka panjang," pungkas Sri Mulyani.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, pemerintah telah menempatkan prinsip keberlanjutan sebagai inti strategi pembiayaan infrastruktur. Beberapa instrumen yang telah diterapkan meliputi kerangka kerja Environmental, Social, and Governance (ESG), Project Development Facility (PDF), Viability Gap Fund (VGF), skema Availability Payment, serta jaminan pemerintah melalui Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF).