Suara.com - Pemerintah diminta untuk memberlakukan moratorium kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan. Usulan ini dinilai sebagai langkah strategis untuk menjaga stabilitas industri hasil tembakau (IHT) sekaligus melindungi jutaan pelaku usaha kecil, petani, dan buruh yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini.
Momentum usulan moratorium ini, seiring dengan penunjukan Letjen TNI (Purn) Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang baru. Sosok Djaka diharapkan mampu menyeimbangkan mandat fiskal negara dengan prinsip keadilan sosial yang melibatkan keberlangsungan sektor strategis seperti industri pertembakauan.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji, mengatakan kebijakan moratorium sangat penting untuk memberikan ruang pemulihan bagi ekosistem pertembakauan yang tertekan akibat kenaikan tarif cukai yang agresif dalam beberapa tahun terakhir.
![Pekerja melinting tembakau di Aceh Besar. [Dok.Antara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/07/13/94767-pekerja-tembakau.jpg)
"Sangat bagus usulan moratorium itu untuk Dirjen Bea Cukai baru," ujar Agus seperti dikutip, Selasa (16/6/2025).
Agus menyoroti ketimpangan antara kenaikan tarif cukai dengan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat yang melemah, sehingga menyebabkan penurunan permintaan tembakau dari industri secara signifikan.
Tak hanya itu, ia juga menegaskan bahwa kenaikan tarif CHT yang tidak terkendali justru menyuburkan pasar rokok ilegal.
“Apalagi sekarang ini pemerintah belum mampu menjaga rokok ilegal. Kalau kita mau jujur, di pasaran peredaran rokok legal dan ilegal hampir 50-50,” ucapnya.
Sorotan serupa datang dari kalangan akademisi. Sosiolog Universitas Gadjah Mada, AB Widyanta, menilai bahwa kenaikan tarif cukai yang terus-menerus bukan hanya menekan industri sah, tetapi juga menciptakan celah bagi menjamurnya rokok ilegal yang pada akhirnya merugikan negara.
"Kontraksi, di mana sebetulnya itu juga munculnya rokok-rokok ilegal, itu sangat terasa. Yang ujungnya justru kontraproduktif dengan target pemerintah untuk pendapatan cukai," katanya.
Baca Juga: 78 Persen Toko Ritel Vape Tutup Jika Raperda KTR Adopsi Pelarangan Zonasi Penjualan Produk Tembakau
Widyanta menekankan pentingnya penyusunan peta jalan kebijakan cukai hasil tembakau yang lebih adil dan terukur, serta menyambut baik usulan moratorium selama tiga tahun ke depan.
"Bagus kalau misalnya itu ditentukan target tiga tahun ke depan," jawabnya.
Menurutnya, pemerintah perlu menerapkan pendekatan multisektoral dalam perumusan kebijakan CHT. Hal ini mencakup pelibatan petani, buruh, dan pelaku usaha kecil dalam proses pengambilan keputusan, agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan keseimbangan antar kepentingan.
"Libatkan mereka untuk mengkalkulasi, menakar dimensi-dimensi berbagai sektor secara berimbang, sehingga tetap ada proteksi terhadap para petani tembakau dan buruh-buruh di pabrik industri tembakau," jelas Widyanta.
Widyanta menekankan, kebijakan cukai tak hanya soal angka penerimaan negara, melainkan juga harus berpijak pada prinsip kesejahteraan sosial. Ia berharap agar Dirjen Bea dan Cukai yang baru memiliki pandangan holistik terhadap persoalan ini.
"Ada banyak warga negara kita yang hidup dari IHT, maka mestilah kita memproteksi apa yang menjadi penghidupan warga negara itu. Kalau Pak Djaka bisa sampai kepada perhitungannya menyeluruh holistik seperti itu, saya kira kita akan menjadi bangsa yang berdaulat dengan menata-kelola potensi-potensi sumber yang kita punya," kata dia.