Suara.com - Rencana pemerintah untuk menerapkan kemasan standar atau plain packaging bagi seluruh produk rokok kembali menuai kontroversi. Produsen rokok menilai kebijakan ini sebagai langkah sepihak yang berpotensi melanggar hukum, menghapus identitas merek, dan mengancam keberlangsungan industri pertembakauan nasional.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Benny Wachjudi, mempertanyakan legitimasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam mengatur aspek kemasan rokok di luar ketentuan peringatan kesehatan bergambar. Ia menilai tidak ada mandat eksplisit dalam peraturan yang memberi kewenangan kepada Kemenkes untuk menyeragamkan desain kemasan.
"Karena di dalam kemasan itu kan ada terkandung desain ataupun hak cipta. Warna itu kan hak cipta," ujar Benny kepada wartawan yang dikutip, Kamis (19/8/2025),
Dia mengingatkan bahwa aspek visual dalam kemasan rokok merupakan bagian dari kekayaan intelektual yang diakui hukum.
![Petugas melakukan pemusnahan minuman keras ilegal hasil penindakan di Kantor Pusat Bea Cukai, Jakarta, Rabu (31/7/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/07/31/99697-bea-cukai-musnahkan-miras-dan-rokok-ilegal.jpg)
Benny juga mengungkapkan, pelaku usaha sebelumnya telah menerima draf awal kebijakan yang mengarah pada bentuk kemasan polos. Namun, draf terbaru yang memuat rincian standardisasi belum disampaikan kepada para pelaku industri.
Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang menyebutkan bahwa merek dapat ditampilkan secara grafis, mencakup logo, huruf, angka, gambar, dan susunan warna yang berfungsi membedakan produk.
Menurut Benny, jika seluruh kemasan rokok diseragamkan, maka ini sama saja dengan menghapus ciri khas merek yang telah diakui secara hukum.
"Jika seluruh kemasan diseragamkan, konsumen akan kesulitan membedakan satu merek dengan yang lain, meskipun nama merek tetap dicantumkan dalam ukuran kecil,”"tambahnya.
Lebih jauh, Benny menegaskan, rokok masih merupakan produk legal yang boleh diproduksi, dipromosikan, dan dijual secara sah di Indonesia. Karena itu, pembatasan berlebihan seperti seragamnya kemasan bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip perlindungan hukum atas usaha yang sah.
Baca Juga: Djaka Budhi Utama Buru Pembuat Rokok Ilegal
Ia juga menolak keras argumen yang membandingkan Indonesia dengan negara-negara seperti Malaysia dan Singapura yang telah menerapkan kebijakan serupa. Menurutnya, ekosistem industri pertembakauan di Indonesia jauh lebih kompleks dan strategis.
"Kalau kita bandingkan Indonesia dengan Malaysia dan Singapura, jauh berbeda. Kita punya kebun tembakau, kita punya kebun cengkeh, kita punya industri yang banyak," tegas Benny.
Ia memperingatkan bahwa kebijakan standardisasi kemasan bukan hanya akan memukul produsen besar, tetapi juga akan berdampak ke seluruh rantai pasok industri dari hulu ke hilir, yang melibatkan jutaan tenaga kerja dan petani tembakau dan cengkeh.
Di sisi lain, Kemenkes tetap bersikukuh melanjutkan proses kebijakan ini. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, menjelaskan bahwa maksud dari kebijakan tersebut bukanlah membuat kemasan polos sepenuhnya, melainkan kemasan yang distandarkan.
"Jadi, mungkin yang kita pahami ya bahwa memang ada awalnya wacana untuk penerapan kemasan rokok yang polos ya. Tapi kalau kita kembali merujuk kepada PP 28 Tahun 2024 itu sebenarnya yang diharapkan itu adalah kemasan yang standar ya," kata Nadia.

Ia menambahkan bahwa penyusunan kebijakan ini akan dilakukan melalui tahapan harmonisasi dan diskusi publik, dan menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk melindungi kesehatan masyarakat secara luas.
"Tapi perlu diingat juga ada kewenangan pemerintah dalam memberikan perlindungan kesehatan kepada masyarakat," pungkas dia.