Suara.com - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta tengah mendorong pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Dalam rancangan regulasi yang telah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta, rokok elektrik mendapatkan perlakuan yang setara dengan rokok karena diatur dalam pasal yang sama dalam Raperda KTR Jakarta tersebut.
Pengaturan serta penyamaan definisi tersebut dianggap tidak sesuai dengan profil rokok elektrik yang secara kajian ilmiah telah terbukti rendah risiko.
Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (Akvindo), Paido Siahaan, menyatakan pihaknya memahami dan menghargai upaya Pemprov Jakarta dalam melindungi kesehatan masyarakat melalui Raperda KTR.
Namun, ia menilai penyamaan rokok elektrik dengan rokok yang dibakar merupakan kebijakan yang tidak tepat dan keliru. Rokok elektrik memiliki karakteristik dan profil risiko yang berbeda dari rokok yang dibakar, sehingga seharusnya tidak diperlakukan setara dalam kebijakan yang sudah berlaku secara nasional atau dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024.
“Menyamakan rokok elektrik dengan rokok dalam regulasi ini kurang tepat. Rokok elektrik adalah produk tembakau alternatif yang menghasilkan uap, bukan asap, sehingga tidak menghasilkan zat-zat berbahaya seperti tar dan karbon monoksida yang terkandung dalam asap rokok yang dibakar,” ujar Paido, Jumat (20/6/2025).
Dia menjelaskan, berbagai penelitian ilmiah mendukung adanya perbedaan profil risiko antara rokok yang dibakar dengan rokok elektrik. Salah satunya adalah laporan dari Public Health England (PHE), yang kini dikenal sebagai UK Health Security Agency, berjudul “Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Products” pada 2018 lalu.
Hasilnya, rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan mampu mengurangi paparan risiko hingga 90-95 persen lebih rendah daripada rokok yang dibakar. Temuan ini menunjukkan rokok elektrik dapat menjadi alternatif bagi perokok dewasa yang ingin mengurangi dampak buruk konsumsi rokok.
“Memperlakukan keduanya secara setara dalam regulasi ini berpotensi mengabaikan perbedaan mendasar dalam profil risiko kedua produk tersebut, yang dapat membingungkan masyarakat dan menghambat upaya perokok untuk beralih ke alternatif yang lebih rendah risiko,” jelas Paido.
Baca Juga: Mau Jadi Pengusaha? Ini Tips Cerdas Kelola Operasional Bisnis Biar Nggak Keteteran
Tidak hanya itu, menyamaratakan rokok elektrik dengan rokok yang dibakar dalam Raperda KTR juga berpotensi membatasi hak konsumen untuk mengakses dan menggunakannya. Padahal, akses terhadap produk rendah risiko merupakan bagian dari hak konsumen dewasa untuk mendapatkan pilihan yang lebih baik.
“Vape telah menjadi alat bantu yang efektif bagi jutaan perokok di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, untuk mengurangi atau menghentikan kebiasaan merokok tembakau. Dengan membatasi penggunaannya secara berlebihan, regulasi ini dapat mendorong konsumen dewasa kembali ke rokok yang jauh lebih berbahaya, alih-alih mendukung transisi ke opsi yang lebih baik,” tuturnya.
Dalam rancangan Raperda KTR yang telah beredar di publik, pada Pasal 1 Ayat 6 disebutkan bahwa rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya termasuk shisha, rokok elektronik, vape, produk tembakau yang dipanaskan, diuapkan, dan/atau bentuk lainnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
Dengan penyetaraan tersebut, penggunaan rokok elektrik pun turut dibatasi di tempat umum. Mengacu Pasal 14, beberapa tempat umum antara lain hotel, restoran, hingga tempat hiburan. Untuk penggunaannya, konsumen rokok elektrik hanya bisa melakukannya di ruang terbuka, terpisah dari bangunan utama, jauh dari lalu lalang orang, dan pintu keluar masuk.
Terkait dengan pelarangan penggunaan rokok elektrik di tempat hiburan, Paido menyampaikan keberatannya. Ia menilai bahwa larangan penggunaan vape di tempat hiburan malam, kafe dan sejumlah tempat lainnya, merupakan pendekatan yang terlalu restriktif. Kebijakan semacam ini menurutnya dapat membatasi hak konsumen rokok elektrik yang menggunakan produk ini.
“Kami menyarankan agar Pemprov DKI mempertimbangkan regulasi yang membedakan vape dari rokok tembakau, misalnya dengan memperbolehkan penggunaan vape di area tertentu yang berventilasi baik tanpa harus dibatasi pada ruang khusus merokok,” kata Paido.
Paido juga menyampaikan harapannya agar pemerintah dapat membuka ruang dialog yang inklusif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk asosiasi dan komunitas pengguna rokok elektrik.
Menurutnya, penyusunan regulasi yang baik seharusnya tidak hanya berfokus pada aspek perlindungan kesehatan masyarakat, tetapi juga mempertimbangkan hak konsumen dewasa untuk mengakses produk tembakau alternatif yang rendah risiko.
Dengan melibatkan semua pihak terkait, regulasi yang dihasilkan diharapkan lebih proporsional, berbasis bukti ilmiah, dan mampu mendorong peralihan perilaku merokok tanpa mengorbankan prinsip keadilan bagi konsumen dewasa.
“Regulasi yang baik harus mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan kesehatan masyarakat dan hak konsumen dewasa untuk mengakses produk rendah risiko. AKVINDO siap berkontribusi dengan data dan fakta ilmiah untuk mendukung pembuatan kebijakan yang adil dan berbasis bukti,” tutupnya.