Core Indonesia Ungkap Industri Manufaktur Tetap Lesu Sepanjang Tahun Ini

Kamis, 24 Juli 2025 | 18:50 WIB
Core Indonesia Ungkap Industri Manufaktur Tetap Lesu Sepanjang Tahun Ini
Direktur Eksekutif CORE, Mohammad Faisal, menyebut pemulihan mini di akhir tahun itu bakal didorong oleh peningkatan permintaan domestik menjelang periode libur Natal dan Tahun Baru (Nataru). Foto-Fadil-Suara.com.

Suara.com - Core Indonesia memproyeksikan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia akan menunjukkan sedikit angin segar pada Desember 2025. Namun, jangan terlalu senang dulu, sebab prediksi sepanjang tahun ini masih didominasi awan gelap, alias cenderung kontraktif di bawah ambang batas 50.

Direktur Eksekutif CORE, Mohammad Faisal, menyebut pemulihan mini di akhir tahun itu bakal didorong oleh peningkatan permintaan domestik menjelang periode libur Natal dan Tahun Baru (Nataru).

"PMI itu kan dia melihat dari kinerja industri manufaktur, dari beberapa indikator, melihat supply chain-nya. Jadi lihat order, lihat produksi, lihat stok, lihat yang dikirim, lihat tenaga kerja. Berarti dia melihat demand sebetulnya itu," terang Faisal dalam acara Core Midyear di Kantornya, Jakarta, Kamis (24/7/2025).

Faisal menjelaskan, denyut nadi utama pergerakan PMI manufaktur Indonesia sejatinya berada di permintaan dalam negeri. Meskipun ekspor turut menyumbang, kontribusinya dinilai masih jauh panggang dari api jika dibandingkan dengan konsumsi domestik.

Sayangnya, prospek permintaan pada kuartal kedua, ketiga, dan keempat tahun ini diprediksi masih akan menghadapi tekanan besar. Ini yang membuat sektor manufaktur secara agregat cenderung 'loyo' sepanjang tahun.

Di tengah kelesuan ini, Faisal menyebut sektor makanan dan minuman menjadi satu-satunya yang masih menunjukkan kinerja positif. Di luar itu, kontraksi diperkirakan akan terus berlanjut.

Ia juga menyoroti beratnya tantangan dari sisi ekspor, terutama untuk industri padat karya seperti tekstil dan produk tekstil (TPT). Sekitar 50 persen ekspor TPT kita, kata Faisal, mengarah ke Amerika Serikat. Ada harapan bisa membaik, tapi tak semudah membalik telapak tangan.

Masalahnya, Indonesia masih harus berhadapan dengan persaingan ketat di pasar AS karena urusan harga dan logistik dengan kompetitor, sebut saja Vietnam. "Tarif dasar untuk produk tekstil Indonesia itu 5-15 persen. Vietnam 0 persen,” keluhnya.

Bahkan, sekalipun tarif resiprokal AS sudah turun menjadi 19 persen untuk Indonesia, total tarif untuk TPT Indonesia masih lebih tinggi ketimbang Vietnam.

Baca Juga: Jepang Pelit Kasih Teknologi, Alasan Pemerintah Lebih Pilih China Kembangkan Industri EV

Di sisi lain, industri TPT juga menghadapi ancaman dari limpahan produk China. Ini adalah efek domino dari oversupply dan perang dagang AS-China. Alhasil, persaingan di pasar domestik pun makin sengit.

“Kompetisinya makin besar di industri tekstil dan produk tekstil. Jadi sangat mungkin masih kontraksi, kecuali Desember," tambahnya.

Data survei S&P Global mencatat, PMI manufaktur Indonesia memang sudah masuk fase 'meriang' signifikan pada kuartal kedua 2025. Angkanya terus merana di bawah ambang batas 50. Pada April 2025, anjlok ke 46,7, lalu sedikit membaik menjadi 47,4 di Mei, dan kembali merosot ke 46,9 pada Juni.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI