Utang Luar Negeri Tembus Rp7.014 Triliun, Bisa Bahaya Buat Pemerintah Indonesia

Senin, 18 Agustus 2025 | 13:10 WIB
Utang Luar Negeri Tembus Rp7.014 Triliun, Bisa Bahaya Buat Pemerintah Indonesia
Ilustrasi utang luar negeri tembus Rp7.014 triliun. (ist)

Suara.com - Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai Pemerintah perlu menekan porsi utang di Indonesia.

Hal ini bisa menjadi alarm bahaya bagi rupiah yang bisa saja tertekan oleh dolar Amerika Serikat.

Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) melaporkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada kuartal triwulan II-2025 sebesar 433,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 7.014,2 triliun (asumsi kurs Rp 16.187,9 per dolar AS).

"Secara umum, utang luar negeri Indonesia saat ini masih dalam kategori sehat dan terkendali. Namun, warning tetap ada, terutama terkait ketergantungan pada utang berdenominasi valas, meningkatnya porsi ULN pemerintah, serta risiko eksternal dari volatilitas rupiah dan pembalikan modal asing," katanya saat dihubungi Suara.com, Senin (18/8/2025).

Meski secara rasio masih aman, Indonesia tetap rentan terhadap guncangan eksternal.

Sebagian besar utang berdenominasi dolar AS, sementara rupiah cenderung tertekan akibat ketidakpastian global, termasuk kebijakan The Fed dan tensi geopolitik.

"Bila pelemahan rupiah berlanjut, maka beban pembayaran ULN bisa meningkat signifikan dalam rupiah. Selain itu, potensi arus keluar modal dari investor asing yang memegang SBN juga menjadi faktor risiko," kata dia.

Dia pun melanjutkan kesehatan utang luar negeri biasanya diukur dengan rasio ULN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan juga Debt Service Ratio (DSR), yakni kemampuan membayar utang dibandingkan dengan penerimaan ekspor.

Berdasarkan laporan BI, rasio ULN Indonesia terhadap PDB masih relatif terkendali di kisaran 29–30 persen.

Baca Juga: Angka Kemiskinan Naik, Rupiah Ditutup Lemah Tak Berdaya Lawan Dolar AS

Angka ini jauh di bawah ambang batas kehati-hatian internasional (sekitar 60% PDB).

Selain itu, sebagian besar ULN Indonesia berjangka panjang (lebih dari 80%), sehingga risiko likuiditas atau jatuh tempo jangka pendek cukup rendah.

"Hal ini membuat posisi utang masih tergolong aman," jelasnya.

Sementara itu, komposisi ULN juga penting untuk dinilai. Dari total 433,3 miliar dolar AS. Apalagi, porsi pemerintah sekitar 210,1 miliar dolar AS , tumbuh 10 persen yoy.

Sedangkan, ULN swasta justru menurun 1,4% yoy. Artinya, beban ULN kini lebih banyak digerakkan oleh pembiayaan pemerintah, terutama untuk pembangunan infrastruktur, sektor produktif, dan pembiayaan defisit.

"Karena ULN swasta didominasi sektor produktif seperti pertambangan, pengolahan, dan jasa keuangan, maka penurunan ULN swasta bisa berarti berkurangnya ekspansi investasi swasta, yang dalam jangka menengah perlu dicermati," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI