Suara.com - Hak istimewa finansial yang diterima oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan publik setelah dua warga negara mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menuntut penghapusan uang pensiun bagi para wakil rakyat tersebut.
Gugatan ini secara langsung menargetkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980, yang mengatur hak keuangan dan administratif bagi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Dua pemohon, Lita Linggayani Gading dan Syamsul Jahidin, secara spesifik mempersoalkan Pasal 1 a, Pasal 1 f, dan Pasal 12 UU Nomor 12/1980 tentang Hak Keuangan/Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi.
Inti dari gugatan ini adalah mempertanyakan legalitas pemberian status Anggota Lembaga Tinggi Negara yang secara otomatis memberi hak pensiun seumur hidup kepada anggota DPR, meskipun masa jabatannya hanya berlangsung selama satu periode atau lima tahun.
Para pemohon juga membandingkan: "Rakyat biasa harus menabung lewat BPJS Ketenagakerjaan atau program pensiun lain yang penuh syarat, anggota DPR justru mendapat pensiun seumur hidup hanya dengan sekali duduk di kursi parlemen".
Rincian Hak Pensiun DPR Seumur Hidup
Tuntutan penghapusan uang pensiun DPR menjadi isu hangat mengingat hak keuangan pasca-purna tugas ini diatur secara istimewa oleh undang-undang, yang menjamin penghasilan bulanan bagi anggota DPR yang berhenti dengan hormat.
Aturan mengenai uang pensiun ini merujuk pada Pasal 13 UU 12/1980 yang menetapkan formula: "Besarnya pensiun pokok sebulan adalah 1% dari dasar pensiun untuk tiap satu bulan masa jabatan dengan ketentuan bahwa besarnya pensiun pokok sekurang-kurangnya 6% dan sebanyak-banyaknya 75% dari dasar pensiun".
Namun, berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, besaran dana pensiun yang diberikan kepada anggota DPR diperkirakan mencapai sekitar 60% dari gaji pokok.
Baca Juga: Gaji Kerap Nunggak, Bernardo Tavares Akhirnya Putuskan Tinggalkan PSM Makassar
Pemberian pensiun ini berlaku seumur hidup dan akan diteruskan kepada pasangan yang masih hidup dengan jumlah yang lebih kecil apabila anggota DPR tersebut meninggal dunia.
Selain mendapatkan pensiun bulanan, anggota DPR juga berhak atas Tunjangan Hari Tua (THT) sebesar Rp15 juta yang dibayarkan hanya satu kali setelah masa jabatannya berakhir.
Dana pensiun bulanan yang diterima anggota DPR bervariasi tergantung pada jabatan terakhir yang diemban:
- Anggota Merangkap Ketua: Dengan gaji pokok Rp5,04 juta, dana pensiun yang dikantongi sebesar Rp3,02 juta per bulan.
- Anggota Merangkap Wakil Ketua: Mendapatkan pensiun bulanan senilai Rp2,77 juta.
- Anggota Tanpa Jabatan: Dengan gaji pokok Rp4,20 juta, anggota biasa akan mengantongi dana pensiun senilai Rp2,52 juta per bulan.
Perkiraan Biaya Anggaran Pensiun DPR
Jika diakumulasikan berdasarkan jumlah kursi DPR RI saat ini, yaitu 580 anggota, dan menggunakan patokan uang pensiun bulanan terendah untuk anggota tanpa jabatan (Rp2,52 juta) sebagai basis perhitungan konservatif, maka potensi anggaran bulanan yang dikeluarkan oleh negara untuk jaminan purna tugas ini mencapai angka yang fantastis.
Perhitungan Anggaran Bulanan (Estimasi Minimal):
Total Anggaran Bulanan=Jumlah Anggota×Pensiun Anggota Biasa
Total Anggaran Bulanan=580×Rp2.520.000=Rp1.461.600.000
Ini berarti, dengan asumsi 580 anggota DPR secara bersamaan menerima pensiun dengan nilai minimal, negara harus mengalokasikan sekitar Rp1,46 miliar setiap bulannya.
Angka ini belum termasuk THT Rp15 juta yang dibayarkan satu kali untuk setiap anggota, dan nilai ini akan terus bertambah seiring bertambahnya jumlah mantan anggota DPR yang berhak menerima pensiun di tahun-tahun mendatang.
Gugatan ke MK ini menjadi pertaruhan penting bagi transparansi anggaran dan kesetaraan hak di mata hukum, terutama dalam sistem jaminan sosial di Indonesia. Keputusan MK atas UU 12/1980 akan sangat menentukan masa depan hak finansial Lembaga Tinggi Negara dan bagaimana negara memperlakukan pensiunan pejabat publik.
Kontributor : Rizqi Amalia