- Pedagang thrifting mengeluhkan kebijakan pelarangan balpres karena merasa tidak merugikan UMKM dan justru bersaing dengan produk impor baru.
- Data BAM DPR RI menunjukkan barang thrifting hanya 0,5% dari total tekstil ilegal, sehingga bukan ancaman utama bagi industri lokal.
- BAM DPR RI mendorong dialog lintas kementerian untuk menyelesaikan isu thrifting secara adil dan menyeluruh demi keberlangsungan pelaku usaha kecil.
Suara.com - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tengah gencar memburu bal pakaian bekas impor (balpres) beberapa waktu belakangan. Kebijakan ini pun dikeluhkan para pedagang baju bekas (thrifting).
Salah satu keluhan disampaikan oleh Rifai Silalahi selaku perwakilan pedagang thrifting dari Pasar Senen. Ia mengatakan kalau usaha pakaian bekas merupakan bagian dari UMKM yang telah bertahan puluhan tahun.
Rifai turut mengklaim kalau pelaku thrifting bukanlah ancaman bagi UMKM, bahkan tidak bersinggungan secara langsung dengan produk lokal.
“Yang merusak pasar itu bukan kami, tapi banjirnya produk impor baru," ungkap Rifai dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) para pedagang thrifting dengan Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, dikutip dari siaran pers, Kamis (20/11/2025).
Pedagang thrifting Pasar Senen itu menuding kalau produk China justru menguasai pasar dengan persentase 80 persen. Ada pula pakaian impor dari Amerika Serikat, Vietnam, hingga India yang justru membuat produk lokal tersisa 5 persen.
"China menguasai 80 persen, ditambah barang dari Amerika, Vietnam, dan India sekitar 15 persen. Produk lokal hanya tersisa 5 persen,” lanjut dia.
Sementara itu Wakil Ketua Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI Adian Napitupulu mengungkapkan bahwa barang thrifting yang masuk ke Indonesia hanya sekitar 3.600 kontainer atau 0,5 persen dari total 28.000 kontainer tekstil ilegal yang beredar di Indonesia.
Menurutnya, angka tersebut menunjukkan bahwa thrifting bukan merupakan ancaman utama bagi keberlangsungan UMKM.
Politikus asal PDIP itu menilai kalau kebijakan negara tidak boleh hanya didasarkan pada persepsi atau stigma, tetapi harus berpijak pada data yang akurat.
Baca Juga: Partisipasi Publik Palsu: Strategi Komunikasi di Balik Pengesahan Revisi KUHAP
Ia menganggap bahwa persoalan thrifting selalu muncul setiap tahun, namun penanganannya tidak pernah disertai pendekatan menyeluruh dan pemahaman bahwa jutaan masyarakat menggantungkan hidup dari sektor tersebut.
“Negara tidak boleh hanya hadir dengan tindakan, tetapi juga dengan keadilan. Kita tidak boleh mengambil keputusan yang menekan rakyat kecil ketika negara sendiri belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai,” ujar Adian.
Lebih lanjut Adian menegaskan bahwa BAM DPR RI akan menindaklanjuti seluruh masukan dengan menggelar dialog lanjutan bersama kementerian terkait, terutama Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan.
Menurutnya, penyelesaian persoalan thrifting hanya dapat dicapai jika seluruh pemangku kepentingan duduk bersama dan melihat isu ini secara menyeluruh, termasuk aspek ekonomi, sosial, dan keberlanjutan hidup pedagang.