Kemenperin Akui Industri Otomotif Bahaya, Meski Penjualan Mobil Listrik Meroket, Ini Alasannya

Rabu, 03 Desember 2025 | 15:11 WIB
Kemenperin Akui Industri Otomotif Bahaya, Meski Penjualan Mobil Listrik Meroket, Ini Alasannya
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief. [ANTARA/Muzdaffar Fauzan]
Baca 10 detik
  • Kementerian Perindustrian menyatakan industri otomotif menghadapi tekanan serius meskipun penjualan kendaraan listrik (EV) impor meningkat tajam.
  • Penjualan kendaraan non-EV domestik utama mengalami penurunan signifikan, jauh di bawah kapasitas produksi tahunan saat ini.
  • Pemerintah dan komunitas otomotif menekankan perlunya insentif baru untuk menjaga daya saing dan melindungi lapangan kerja.

Data Gaikindo menunjukkan penjualan mobil sepanjang Januari–Oktober 2025 secara wholesales hanya 634.844 unit, turun 10,6 persen dari tahun sebelumnya. 

Ilustrasi penjualan mobil (Pexels/Akshay Shende).
Ilustrasi penjualan mobil (Pexels/Akshay Shende).

Penjualan retail sales juga melemah menjadi 660.659 unit, turun 9,6 persen dari 2024. Kondisi ini memperkuat kesimpulan bahwa pasar domestik belum kembali pulih.

Kemenperin menyebut insentif otomotif menjadi instrumen penting dalam upaya memulihkan pasar kendaraan bermotor dan menjaga keberlanjutan industri nasional. 

Febri menilai insentif tidak hanya bermanfaat bagi pelaku industri, tetapi juga bagi konsumen. 

Ia menyatakan dukungan fiskal dapat membantu menurunkan harga kendaraan dan mempertahankan daya beli masyarakat kelas menengah serta pembeli mobil pertama.

“Walaupun Kemenperin belum merumuskan jenis, bentuk dan target insentif/stimulus, tapi usulannya akan mengarah ke segmen kelas menengah-bawah dan didasarkan pada nilai TKDN,” ungkapnya.

Kemenperin juga mencatat penurunan signifikan pada sejumlah segmen kendaraan yang menjadi tulang punggung industri. 

Segmen entry (OTR < Rp200 juta) turun 40 persen, segmen low (Rp200–400 juta) turun 36 persen, dan segmen kendaraan komersial turun 23 persen. 

Ketiga segmen tersebut selama ini menjadi penyerap produksi terbesar sekaligus berkontribusi besar terhadap tenaga kerja industri otomotif.

Baca Juga: Insentif Otomotif 2026 Belum Jelas, Pemerintah Klaim Industri Sudah Kuat

Menurut Febri, tekanan pasar yang terjadi secara bersamaan dapat berdampak lebih luas pada industri komponen dan investasi sektor otomotif. 

“Tidak adanya intervensi kebijakan akan membuat tekanan ini semakin dalam, dan efeknya dapat memengaruhi struktur industri secara keseluruhan,” ujarnya.

Dorongan pemberian insentif juga muncul dari komunitas otomotif. Founder Xpander Mitsubishi Owners Club (X-MOC), Sonny Eka Putra, menilai insentif sebaiknya disesuaikan kebutuhan masing-masing segmen. 

“Kalau saya ngelihatnya case by case. Ini sebetulnya juga berlaku untuk mobil listrik. Maksudnya insentif itu diperlukan untuk mobil kalangan menengah ke bawah biar tepat sasaran. Kalau yang di segmen atas itu nggak wajib malah,” tuturnya.

Sonny menilai konsumen kelas menengah ke atas tidak membutuhkan insentif karena dianggap mampu membeli tanpa dukungan fiskal. 

"Mobil hybrid saja sebetulnya harganya biasanya lebih mahal. Baru yang kemarin keluar Veloz harganya di bawah Rp 300 juta. Tapi yang pasti mobil menengah ke atas itu memang jangan sampai ada insentif, karena dianggap mereka (konsumen) mampu membeli,” imbuhnya.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI