Mengapa Rupiah Loyo di 2025?

Rabu, 17 Desember 2025 | 21:15 WIB
Mengapa Rupiah Loyo di 2025?
Nilai tukar rupiah sepanjang 2025 melemah signifikan terhadap dolar AS. [Suara.com/Aldie]
Baca 10 detik
  • Menjelang akhir 2025, nilai tukar rupiah melemah signifikan di kisaran Rp16.600–Rp16.700, melampaui target APBN Rp16.000.
  • Pelemahan rupiah disebabkan faktor global (suku bunga The Fed) dan domestik (persepsi fundamental ekonomi Indonesia).
  • Bank Indonesia secara aktif melakukan intervensi pasar untuk menjaga stabilitas kurs rupiah meskipun pelemahan masih terjadi.

Suara.com - Nilai tukar rupiah menjelang akhir tahun masih belum menunjukkan perlawanan yang berarti terhadap dolar Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan mata uang garuda masih bergerak naik dan turun dalam menghadapi dolar Amerika Serikat.

Padahal, dalam APBN 2025 mematok rupiah pada level Rp16.000 per dolar Amerika Serikat di akhir tahun. Namun, kondisi rupiah pada Desember masih menunjukkan pelemahan di kisaran Rp16.600-Rp16.700 dan hampir menyentuh level Rp17.000.

Tentunya, pergerakan yang belum stabil ini bisa memperbesar kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi. Jika, kurs berubah terlalu cepat, harga barang kebutuhan bisa ikut naik, biaya usaha membengkak, hingga keputusan finansial pribadi perlu dievaluasi ulang.

Lantas apa penyebab rupiah masih belum bergerak stabil bahkan menguat di level Rp16.000? Apa dampaknya dan bagaimana dinamika ke depan? Akankah mencapai Rp17.000?

Mengapa Melemah?

Di sepanjang 2025, tepatnya dari Januari hingga Oktober kemarin, rupiah memang cenderung melemah, meski masih berada di rentang Rp 16.000 per dolar AS.

Melansir Refinitiv Di Januari nilai tukar Rupiah berada di kisaran Rp 16.200 sebelum melemah sampai titik terendah di kisaran Rp16.950 pada awal April. Di Semester II 2025, rupiah masih bergerak di kisaran Rp 16.100 pada Agustus, sebelum terdepresiasi lagi ke kisaran Rp16,735 di September kemarin.

Kepala Pusat Makroekonomi Indef, Rizal Taufiqurrahman mengatakan pergerakan rupiah yang naik–turun pada dasarnya mencerminkan kombinasi faktor global dan domestik.

Dari sisi global, penguatan dolar AS, arah suku bunga The Fed, serta ketidakpastian geopolitik membuat arus modal cenderung volatil dan sensitif terhadap risiko.

Baca Juga: Rupiah Kokoh Lawan Dolar AS pada Hari Ini, Tembus Level Rp 16.646

Sedangkan, sisi domestik, rupiah dipengaruhi oleh persepsi pasar terhadap fundamental ekonomi Indonesia mulai dari inflasi, defisit transaksi berjalan, kesehatan fiskal, hingga kredibilitas kebijakan moneter.

Nilai tukar rupiah sepanjang 2025 melemah signifikan terhadap dolar AS. [Suara.com/Aldie]
Nilai tukar rupiah sepanjang 2025 melemah signifikan terhadap dolar AS. [Suara.com/Aldie]

Apa Dampaknya?

Rizal menerangkan pelemahan atau juga penguatan Rupiah memiliki dampak positif maupun negatif secara umum. Pelemahan memang bisa menekan industri di sektor berbasis impor, karena membuat biaya semakin tinggi.

Tapi di sisi lain, bisa membantu industri yang berfokus pada ekspor.

"Dampaknya ke ekonomi Indonesia bersifat berlapis depresiasi rupiah dapat menekan inflasi impor dan biaya produksi sektor berbasis impor, tetapi di sisi lain masih memberi bantalan bagi ekspor dan penerimaan devisa," katanya saat dihubungi Suara.com.

Anjlok ke Rp17.000?

Sepanjang 2025, titik terendah Rupiah tercatat pada awal April. Ketika itu beberapa lembaga menyebut bahwa 1 dolar AS sudah mencapai Rp 17.000, meski pelemahan itu tak berlangsung lama karena intervensi BI.

Kala itu rupiah anjlok karena faktor tarif dagang AS yang memicu ketidakpastian global, sementara di dalam negeri penerimaan pajak dilaporkan lesu dan jauh dari harapan.

Apakah pelemahan ini akan terulang kembali di akhir tahun dan di masa depan?

"Soal kemungkinan rupiah menembus Rp17.000 per dolar AS di akhir tahun, skenario tersebut tidak bisa sepenuhnya dikesampingkan, tetapi juga bukan baseline utama," kata Rizal.

Menurut dia, rupiah yang bisa saja tembus Rp17.000 itu biasanya mencerminkan kombinasi tekanan global yang sangat kuat misalnya lonjakan imbal hasil US Treasury.

"Apalagi, penguatan dolar yang agresif, atau sentimen risiko global yang memburuk tajam," bebernya.

Namun, dia meyakini bahwa fundamental Indonesia saat ini masih relatif terjaga. Hal itu terlihat dari cadangan devisa memadai, inflasi terkendali, dan defisit transaksi berjalan masih dalam batas aman.

"Pelemahan rupiah cenderung bersifat volatilitas jangka pendek, bukan krisis nilai tukar. Artinya, tembus Rp17.000 lebih tepat dilihat sebagai risiko (risk scenario), bukan proyeksi utama," bebernya.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengakui, nilai tukar rupiah saat ini terus mengalami pelemahan. Kendati begitu, ia memastikan, BI secara terus berusaha mengambil kebijakan supaya pelemahan yang terjadi terhadap kurs rupiah itu bergerak stabil.

"Alhamdulillah memang melemah rupiah kita, tapi kita jaga stabil, dan relatif stabil dibanding negara lain," kata Perry saat rapat kerja dengan Komite IV DPD RI, Senin (17/11/2025).

Dia menambahkan BI pun terus melakukan intervensi kepada rupiah agar tetap stabil. Apalagi, BI terus memanfaatkan cadangan devisa untuk menjaga stabilitas kurs rupiah hingga saat ini melalui kebijakan intervensi di pasar domestik maupun luar negeri.

"Kami mati-matian, kami intervensi secara tunai, bisa juga secara forward. Kami itu tidak pernah berhenti, intervensi tidak hanya di dalam negeri tapi juga di seluruh dunia, pasar Asia, Eropa, Amerika, kami terus-terusan intervensi," tegas dia.

Bagaimana ke depan?

Rizal menyarankan kepada pemerintah agar berkoordinasi dalam mengelola fiskal dan berpikir jangka panjang.

"Agar rupiah lebih stabil dan cenderung menguat, kuncinya bukan sekadar intervensi jangka pendek, melainkan konsistensi kebijakan makro. Pertama, koordinasi fiskal–moneter harus kuat: kebijakan suku bunga dan likuiditas Bank Indonesia perlu sejalan dengan disiplin fiskal agar tidak menimbulkan persepsi risiko," katanya.

Selain itu,penguatan fundamental eksternal melalui peningkatan ekspor bernilai tambah, pengendalian impor energi dan pangan, serta keberlanjutan kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) yang kredibel.

Pemerintah juga harus menjaga kepercayaan investor lewat kepastian kebijakan, stabilitas politik, dan konsistensi reformasi struktural.

"Dengan pendekatan ini, rupiah mungkin tidak selalu kuat secara nominal, tetapi akan lebih stabil, kredibel, dan tahan terhadap guncangan global yang justru lebih penting bagi kesehatan ekonomi jangka menengah," pungkas dia.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI