Suara.com - Ketika para pesepak bola keturunan Indonesia saat ini berbondong-bondong main di Super League 2025/2026, situasinya berbeda hampir seabad silam.
Kemunculan pemain keturunan Indonesia yang saat ini jadi sorotan luas sebenarnya tidak terlalu mengherankan jika menilik dari catatan sejarah.
Fakta sejarah mencatat sejumlah pemain Belanda kelahiran Indonesia di era Perang Dunia II catatkan prestasi tersendiri.
Satu nama yang patut diulas lagi ialah seorang pemain kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah yang catat prestasi di sepak bola Eropa.
Pemain itu ialah Beb Bakhuys. Beb lahir di Pekalongan pada 1909.
Ia adalah simbol dari bakat mentah yang bersinar terang. Ia debut di tim utama HBS saat berusia 16 tahun, lalu meledak bersama ZAC dengan mencetak 92 gol dalam 73 pertandingan.
Untuk informasi HBS merupakan klub sepak bola yang didirikan dari sekumpulan siswa di sebuah sekolah Hoogere Burger-School pada tanggal 19 Januari 1913 di Surabaya.
Kehebatan Beb Bakhuys membuat sinarnya di lapangan hijau mengantarkan pada panggilan membela tim Orange Belanda.
Puncaknya, ia menjadi top skor Belanda dan mencatat debut internasional melawan Italia di San Siro tahun 1928.
Baca Juga: Untung Rugi Rafael Struick ke Dewa United: Jaminan Bintang atau Rem Karier?
Namun pada usia 20 tahun, ia memilih kembali ke tanah kelahirannya, Indonesia. Beb kemudian bergabung dengan klub T.H.O.R. di Soerabaja. Kehadirannya langsung mengguncang publik sepak bola lokal.
Bersama Felix Smeets—yang menyusul sebulan kemudian—mereka membentuk koningskoppel, duo penyerang yang membawa standar permainan Eropa ke tanah tropis.
Mengutip dari laporan desportwereld, pada 22 Februari 1930, Bakhuys kembali ke tanah kelahirannya dengan kapal S.S. Patria.
Ia memilih untuk bekerja di kantor Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) di Soerabaja, sambil tetap bermain sepak bola.
Pada 1930, Soerabaja di bawah duet maut ini menjuarai Stedenwedstrijden--kompetisi lokal yang diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Saat itu, tim-tim yang bermain di Stedenwedstrijden mengusung nama kota, seperti Soerabaja, Batavia, dan lain-lain.
Kemenangan atas Batavia disambut arak-arakan, sorak sorai, dan siaran langsung radio—hal yang langka kala itu.
Namun kisah indah mereka tidak bertahan lama. Cedera, jadwal kerja yang padat, dan konflik internal mulai merusak performa Bakhuys.
Ia bahkan sempat diskors karena kritik terhadap federasi lokal. Ironisnya, ia bangkit dan membawa T.H.O.R. jadi juara Soerabaja setahun kemudian.
Di tahun 1932, turnamen tahunan kembali diwarnai kontroversi. Kali ini, konflik rasial muncul akibat pelarangan media Tionghoa meliput pertandingan.
Protes, boikot, dan kecaman melanda. Tapi di lapangan, Bakhuys dan Smeets tetap tampil memukau, membawa Soerabaja kembali juara.
Beb Bakhuys akhirnya pulang ke Belanda pada 1933 dalam kondisi finansial yang buruk.
Ia melanjutkan karier di ZAC, kembali membela Oranje, lalu pindah ke Prancis menjadi pemain profesional di FC Metz.
Pindah ke FC Metz membuat pemain kelahiran Pekalongan itu jadi pesepak bola Belanda pertama yang bermain di Prancis.
Nama Beb Bakhuys mulai bergema di tanah Prancis setelah laga ikonik antara Prancis vs Belanda pada 12 Januari 1936.
Dalam laga itu, tim Oranje menghancurkan tuan rumah dengan skor mencolok 6-1—dan Bakhuys mencetak hattrick yang memukau publik Paris.
Penampilannya yang luar biasa itu membekas di benak pencinta bola Prancis.
Setahun berselang, FC Metz yang baru saja mengadopsi sistem profesional langsung mengontraknya.
Dikutip dari knaw.nl, ia menerima uang muka sebesar 22.000 gulden dan gaji bulanan 600 gulden—jumlah yang luar biasa besar di era 1930-an.
Publik Prancis memanggilnya “Bakwie”, dan sang striker segera menjadi tumpuan klub di garis depan.
Namun kemegahan di lapangan tiba-tiba terguncang. Ketika Perang Dunia II pecah, Bakhuys terpaksa kembali ke Belanda, yang kemudian diduduki oleh Nazi Jerman.
Dari sana, ia dideportasi ke Leipzig, Jerman, dan bekerja sebagai tukang alat atau instrumentmaker.
Tapi nasib berkata lain. Sepak bola kembali menyelamatkannya.
Ia diberi sedikit kebebasan oleh otoritas Jerman dan menggunakannya untuk kembali ke Prancis sekitar tahun 1943. Di tengah kekacauan perang, FC Metz tetap membuka pintu untuknya.
Luar biasanya, Bakhuys tetap bermain hingga usia 38 tahun. Ia bertahan di FC Metz sampai tahun 1947, menunjukkan konsistensi yang luar biasa meski usia dan situasi dunia tidak lagi berpihak.
Akhir cerita, Beb Bakhuys meninggal dunia pada 1982 dengan rekor 28 gol dari 23 caps untuk Belanda.