Namun, majelis dzikir yang didirikan Gus Miek sering mendapat kritik, terutama dari kalangan kiai besar di Jawa, khususnya di kalangan NU. Mereka menganggap bahwa majelis ini bertentangan dengan ajaran Islam yang berlaku.
Meskipun demikian, Gus Miek tetap teguh pada keyakinannya dan melanjutkan dakwahnya, walaupun sering kali harus menghadapi tantangan dan perbedaan pendapat.
Gus Miek tidak tertarik pada pendidikan formal, dan lebih memilih untuk mendalami ilmu agama sejak kecil. Ia sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR), namun tidak lulus. Sejak awal, ia sudah menunjukkan ketertarikannya pada agama Islam dan fokus untuk memperdalam ilmu Al-Qur'an. Bimbingan langsung dari ibunya menjadi fondasi awal pemahaman agamanya.
Pada usia 13 tahun, Gus Miek melanjutkan pendalaman agama dengan bergabung di Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri. Namun, ia hanya bertahan selama 16 hari di sana karena merasa tidak cocok dengan sistem pendidikan formal pesantren tersebut.
Gus Miek kemudian melanjutkan perjalanannya ke Pondok Pesantren Watucongol di Magelang, Jawa Tengah, di mana ia belajar dari guru-guru yang ia percayai dan yang membantunya untuk lebih memahami agama dan mendirikan Majelis Dzikir yang terkenal.