Suara.com - Kemunculan Jessica Wongso dalam program Spotlight milik Seven Network Australia kembali membangkitkan emosi publik, khususnya di Indonesia.
Jessica Kumala Wongso telah bebas bersyarat sejak Agustus 2024 setelah dinyatakan bersalah sebagai pelaku pembunuhan berencana atas Wayan Mirna Salihin.
Dalam wawancara tersebut, Jessica menyangkal memiliki hubungan dekat dengan almarhumah, sahabat yang tewas usai meminum kopi mengandung sianida pada 2016.
Wawancara eksklusif itu menampilkan sisi Jessica Wongso yang selama ini tak banyak terlihat di media.
Sebagai penduduk tetap Australia, dia menyatakan bahwa hubungannya dengan Mirna hanya sebatas kenalan karena berasal dari negara yang sama.

Jessica menegaskan bahwa mereka bukan sahabat dekat seperti yang selama ini diyakini masyarakat luas.
"Karena kami berasal dari negara yang sama. Kami bukan sahabat atau apa. Setelah lulus, dia kembali ke Indonesia, saya tinggal di Australia," ujar Jessica dalam wawancara tersebut seperti dikutip pada Sabtu, 31 Mei 2025.
Pernyataan tersebut langsung memantik kemarahan warganet di Indonesia. Media sosial pun dipenuhi komentar keras.
"Jessica Wongso muncul di TV Australia seolah tidak bersalah, tapi kita tidak lupa tragedi Mirna. Ini menyakitkan hati!" tulis seorang warganet.
Baca Juga: Pernah Diisukan Penyuka Sejenis, Jessica Wongso Ngaku Banyak Cowok Mendekatinya Usai Bebas
Komentar lain menyebut bahwa wawancara tersebut terasa seperti usaha pencucian nama di media internasional, tanpa memperlihatkan penyesalan atau rasa tanggung jawab atas vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan Indonesia.
Beberapa warganet bahkan menyoroti gestur dan ekspresi Jessica selama wawancara.
Salah satu momen yang menjadi sorotan adalah ketika pewawancara menyebut dirinya "beruntung" setelah kecelakaan mobil.
Jessica Wongso malah menanggapi dengan tawa dan berkata, "Kamu pikir aku beruntung? Harusnya aku mati."
Banyak yang menganggap respons tersebut menunjukkan sisi kejiwaan yang mengkhawatirkan dan tidak selaras dengan respons umum korban selamat dari kecelakaan.
Sementara itu, program Spotlight juga menampilkan beberapa narasumber yang memperkuat narasi bahwa Jessica Wongso menjadi korban ketidakadilan dalam sistem hukum Indonesia.
Salah satunya adalah Profesor Simon Butt dari Universitas Sydney yang menyatakan bahwa Jessica tidak mendapatkan asas praduga tak bersalah dalam proses pengadilannya.
"Dalam media dan pengadilan, Jessica digambarkan sebagai sosok jahat dan gila. Padahal, bukti terhadap dirinya bersifat tidak langsung dan sangat lemah," ujar Simon Butt.
Pendapat serupa disampaikan oleh Tim Lindsey dari Centre for Indonesian Law, Islam and Society.
Lindsey menyatakan bahwa meskipun Jessica berupaya meninjau kembali putusan pengadilan, peluang keberhasilannya sangat kecil kecuali ditemukan bukti baru yang kuat.
Dia juga menyoroti adanya kekurangan dalam proses penuntutan dan penyelidikan yang dahulu dijalankan.

Namun, opini dari para ahli hukum ini tidak cukup untuk mengubah persepsi banyak orang, terutama mereka yang mengikuti proses persidangan Jessica secara langsung.
Beberapa netizen yang menyaksikan proses hukum sejak awal mengaku tidak bisa menerima narasi pembelaan Jessica, apalagi setelah munculnya dokumenter Ice Cold di Netflix yang dianggap terlalu membela terdakwa.
"Saya nonton sidangnya dari awal sampai akhir. Jawaban Jessica selalu 'lupa' atau 'tidak ingat.' Rekonstruksinya berbeda jauh dari CCTV dan keterangan saksi. Sekarang dia bebas dan muncul di TV? Ini benar-benar melecehkan keadilan,” tulis seorang netizen di X.
Kritik lainnya juga menyasar pada sistem hukum yang memungkinkan pelaku pembunuhan berencana memperoleh pembebasan bersyarat, kemudian tampil seolah korban di media internasional.
Jessica sendiri mengaku tidak bisa membahas secara detail soal kasusnya karena masih terikat aturan pembebasan bersyarat dan proses hukum yang belum sepenuhnya selesai.
Meski demikian, kehadirannya di media asing dinilai oleh banyak pihak sebagai langkah kontroversial.
Kontributor : Chusnul Chotimah