Suara.com - Sejarah sering kali sampai kepada kita dalam bentuk yang dingin dan berjarak: barisan tanggal, daftar nama korban, dan kronologi peristiwa dalam buku teks. Tak terkecuali tragedi Mei 1998, yang kini coba disangkal oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Bagi banyak dari kita yang tidak mengalaminya langsung, tragedi Mei 1998, bisa terasa seperti itu: sebuah bab kelam yang kita ketahui, tetapi tidak pernah benar-benar kita rasakan.
Namun, sinema memiliki kekuatan untuk meruntuhkan jarak tersebut. Dan inilah yang dilakukan secara brilian oleh Jason Iskandar melalui film pendeknya, Langit Masih Gemuruh (The Day The Sky Roared).
Film ini secara umum menceritakan keping-keping yang melatari Reformasi 1998, yang tak pernah masuk buku pelajaran sejarah: kerusuhan terstruktur, amok, teror dan juga pemerkosaan massal terhadap warga peranakan Tionghoa. Tapi film ini bukanlah satu reka ulang sejarah.
Sebelum kita membedah lebih jauh, mari rasakan dulu atmosfernya melalui trailer resminya. Perhatikan bagaimana ketegangan dibangun tanpa perlu dialog secuil pun!
Orkestrasi teror audio
Pernahkah kamu merasakan gemuruh di langit, bahkan saat cuaca sedang cerah? Pertanyaan ini mungkin terdengar puitis, namun bagi banyak orang di Indonesia, gemuruh itu bukan metafora.
Ia adalah gema dari masa lalu yang menolak untuk diam. Sebuah trauma kolektif yang lukanya belum sepenuhnya sembuh.
Gemuruh inilah yang coba ditangkap oleh sutradara Jason Iskandar pada tahun 2015, dalam film pendeknya yang menghantui tersebut.
Baca Juga: Kecam Fadli Zon Soal Pemerkosaan Massal 98, Pengamat: Saya Khawatir Jadi Fadli Zonk
Film ini, bisa dikatakan adalah sebuah orkestrasi teror audio.
Judulnya sendiri sudah menjadi petunjuk utama: gemuruh di langit (atau lebih tepatnya, di jalanan) bukanlah sekadar latar belakang, melainkan tokoh antagonis utama yang tidak pernah kita lihat wujudnya.
Oke. Selanjutnya, pernahkah kamu merasakan ketakutan yang begitu mencekam hingga satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan adalah diam dan mendengarkan?
Bukan mendengarkan keheningan, tetapi gemuruh kekacauan di luar sana yang tak bisa kamu lihat, hanya bisa kamu rasakan getarannya merayap di bawah kulit.
Inilah premis yang dibangun oleh Jason Iskandar dalam film yang tak ada dialognya tersebut!
Elemen paling jenius dalam film ini adalah penggunaan desain suara. Jason Iskandar menjadikan audio sebagai karakter utama, sebagai narator yang tidak terlihat namun sangat terasa kehadirannya.
Suara gemuruh angin bisa diartikan sebagai banyak hal: teriakan massa yang marah, suara benda-benda yang dilempar dan dibakar, atau bahkan suara langit yang seolah ikut murka.
Sinoptik 'Langit Masih Gemuruh' berpusat pada sepasang ibu dan anak perempuan keturunan Tionghoa.
Sang ibu menjemput anaknya yang pulang sekolah di tengah kerusuhan Mei 1998. Mereka terjebak dalam perjalanan pulang.
Sang ibu berusaha keras menjaga ketenangan dan melindungi putrinya yang masih kecil dari realitas mengerikan yang terjadi di jalanan.
Sang anak, dengan kepolosannya, tidak sepenuhnya memahami bahaya yang mengintai. Baginya, suara gemuruh di luar adalah sesuatu yang misterius, mungkin seperti petir atau festival yang ramai.
![Potongan film 'Langit Masih Gemuruh' karya sutradara Jason Iskandar, tahun 2015. Film pendek berdurasi 10 menit ini menceritakan tentang tragedi Mei 1998. [Studi Antelope/Button Ijo]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/06/18/94914-potongan-lagi-film-langit-masih-gemuruh.jpg)
Interaksi mereka yang tanpa kata, dipenuhi tatapan penuh makna dan gestur kecil, menjadi inti dari narasi film ini.
Keduanya hanya bisa menunggu, berharap langit yang gemuruh itu segera reda dan pagi yang tenang akan datang. Namun, apakah harapan itu akan terwujud?
Film ini tidak memberikan jawaban mudah. Ia membiarkan penonton terapung dalam ketidakpastian yang sama seperti yang dirasakan kedua karakternya.
Mengajak penonton 'mengalami', bukan sekadar 'mengetahui'
Kekuatan terbesar ‘Langit Masih Gemuruh’ terletak pada pilihannya untuk fokus pada pengalaman subjektif, bukan pada reka ulang historis.
Jason Iskandar secara sadar menolak untuk menyajikan filmnya sebagai sebuah diorama sejarah yang menampilkan kerusuhan, penjarahan, atau kekerasan secara eksplisit.
Sebaliknya, ia mengajak kita masuk ke dalam sebuah ruang sempit, merasakan langsung paranoia, kecemasan, dan trauma yang membekas dari peristiwa tersebut melalui lensa sinematik.
Kita tidak diberi tahu apa yang terjadi di luar; kita hanya mendengarnya. Kita tidak melihat api; kita hanya merasakan panasnya ketakutan yang merambat masuk ke dalam karakter-karakternya.
Pendekatan ini secara fundamental mengubah peran penonton dari pasif menjadi aktif untuk mengalaminya sendiri.
Pengalaman imersif penonton juga bertambah dengan aspek pewarnaan film Langit Masih Gemuruh yang hitam-putih.
Pewarnaan hitam-putih ini membuat kita bisa tetap fokus pada detail-detail gestur dan emosi ibu dan anak tersebut—tanpa memedulikan objek-objek lain dalam film.
![Potongan film 'Langit Masih Gemuruh' karya sutradara Jason Iskandar, tahun 2015. Film pendek berdurasi 10 menit ini menceritakan tentang tragedi Mei 1998. [Studi Antelope/Button Ijo]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/06/18/45533-potongan-film-langit-masih-gemuruh.jpg)
Pengalaman yang melampaui tontonan
Satu lapisan terdalam dari film ini adalah berhasil karena ia tidak berceramah.
Film ini memberikan kita sebuah pengalaman sensorik. Ia menanggalkan narasi besar, untuk fokus pada sebuah cerita yang bisa diinterpretasikan secara berbeda.
Kekuatan film berdurasi 10 menit ini terletak pada kemampuannya untuk menunjukkan sejarah kelam tanpa harus membuat penafsiran tunggal terhadapnya, seperti yang diinginkan Fadli Zon.
----------------------
Anda bisa menonton film Langit Masih Gemuruh di sini.