5 Bahaya 'Tulis Ulang Sejarah' Versi Fadli Zon Bagi Gen Z

Bernadette Sariyem Suara.Com
Rabu, 18 Juni 2025 | 18:18 WIB
5 Bahaya 'Tulis Ulang Sejarah' Versi Fadli Zon Bagi Gen Z
Foto lawas Fadli Zon saat berjabat tangan dengan Soeharto kembali viral di media sosial. (Tangkapan layar/X)

Suara.com - Isu 'pelurusan sejarah' kembali mengemuka, dan salah satu nama yang paling konsisten menyuarakannya adalah politisi senior Partai Gerindra sekaligus Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

Di permukaan, gagasan untuk mengkaji ulang sejarah terdengar mulia.

Sejarah memang bukanlah dogma yang kaku, ia adalah bidang studi yang dinamis dan bisa diperbarui seiring ditemukannya bukti-bukti baru.

Namun, ketika wacana ini digulirkan oleh seorang politisi aktif, konteksnya berubah total.

Ini bukan lagi murni soal pencarian kebenaran akademis, melainkan berisiko tinggi menjadi alat politik.

Wacana untuk 'meluruskan' atau menulis ulang sejarah Indonesia kembali mengemuka, seringkali dimotori oleh figur-figur politik seperti Fadli Zon.

Bagi sebagian kalangan, ini dianggap upaya mulia. Namun, bagi komunitas sejarawan dan pegiat demokrasi, ini adalah sirene bahaya yang nyaring.

Menulis ulang sejarah dengan pena politik, berisiko meruntuhkan pemahaman kita sebagai bangsa.

Ini bukan sekadar perdebatan di menara gading, melainkan menyangkut memori kolektif dan masa depan demokrasi.

Baca Juga: Bonnie Triyana: Hentikan Penulisan Ulang Sejarah versi Fadli Zon

Dengan mengacu pada pandangan para ahli, mari kita bedah lima imbas paling destruktif jika sejarah dibengkokkan untuk kepentingan sesaat.

1. Rehabilitasi Orde Baru dan Romantisasi Otoritarianisme

Salah satu agenda utama politisasi sejarah adalah mengubah citra Orde Baru.

Sejarawan dan sosiolog Ariel Heryanto dalam berbagai analisisnya menyoroti bahaya "amnesia selektif" ini.

Ia mengkritik narasi yang meromantisasi era Soeharto dengan slogan "piye kabare, penak jamanku to?".

"Politisasi semacam ini sengaja menonjolkan stabilitas semu dan pembangunan fisik, sementara secara sistematis menghapus memori tentang pemberangusan kebebasan, korupsi masif, dan pelanggaran HAM berat. Jika narasi ini yang dominan, generasi muda akan belajar bahwa otoritarianisme adalah harga yang pantas dibayar untuk pembangunan, sebuah gagasan yang sangat anti-demokrasi," ujar Ariel Heryanto dalam sebuah esainya.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI