"Nah, biar si Ulil dan konco-konco liberalnya dengar tuh. Jangan asal jeplak nyalahin Wahabi," komentar salah satu komentar pedas di media sosial.
Gus Ulil sebelumnya menggunakan istilah wahabi lingkungan sebagai perumpamaan terhadap gaya aktivisme lingkungan yang menurutnya terlalu puritan.
Dia menyampaikan pandangan itu di tengah perdebatan tentang isu tambang nikel di Raja Ampat, serta fenomena meningkatnya alarmisme global dalam diskursus ekologi.
"Peduli lingkungan, oke. Menjadi wahabi lingkungan jangan," tulisnya dalam akun X miliknya.
Menurut Gus Ulil, segala bentuk aksi peduli lingkungan yang terlalu kaku dan keras justru bisa membutakan terhadap dinamika sosial dan ekonomi yang kompleks.
Kritik ini ditujukan agar aktivisme lingkungan tidak berubah menjadi penghalang baru yang menutup ruang dialog.
![Ustaz Abdul Somad (UAS). [Ist]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/12/21/15037-ustaz-abdul-somad-uas.jpg)
Perbedaan keyakinan antara UAS dan Gus Ulil memperlihatkan adanya dua pendekatan dalam melihat relasi antara agama dan lingkungan.
Di satu sisi, UAS menekankan pentingnya kejujuran spiritual dan pertanggungjawaban moral terhadap kerusakan alam.
Di sisi lain, Gus Ulil mengingatkan agar tidak terjebak dalam ekstremisme baru atas nama ekologi.
Baca Juga: Ungkap Motif Serangan Bom AS ke Iran, Gus Ulil Malah Diledek: Apakah Trump Wahabi Nuklir?
Yang jelas, pernyataan UAS telah membuka ruang diskusi yang lebih mendalam soal makna ibadah di tengah krisis lingkungan.
Bahwa dalam Islam, doa bukan sekadar permintaan kepada Tuhan, tapi juga cermin kesungguhan untuk berubah.
Ketegangan ini menunjukkan bagaimana isu lingkungan telah masuk jauh ke jantung perdebatan teologis dan moral umat Islam.
UAS sendiri memang dikenal vokal terhadap isu-isu lingkungan, bukan hanya soal pembakaran hutan saja.
Bahkan terkait Raja Ampat, dia sudah mengingatkan potensi perusakan yang dilakukan oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Kontributor : Chusnul Chotimah