Suara.com - Suasana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memanas pada Kamis, 31 Juli 2025. Bukan karena perdebatan hukum yang sengit, melainkan akibat luapan emosi artis kontroversial, Nikita Mirzani, yang meledak sesaat setelah sidang lanjutannya usai.
Aksi amarahnya di dalam ruang sidang kini menjadi sorotan, bukan hanya sebagai drama, tetapi juga karena berpotensi menyeretnya ke dalam konsekuensi hukum serius yang dikenal sebagai contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan.
Insiden tersebut terjadi ketika Nikita, yang tampak tidak puas dengan jalannya persidangan, meluapkan amarahnya dengan teriakan dan gestur tubuh yang emosional.
Meskipun majelis hakim telah menutup sidang, tindakannya yang terjadi di dalam ruang sakral peradilan itu terekam jelas dan dengan cepat menjadi perbincangan publik.
Peristiwa ini membuka diskursus mengenai batasan antara ekspresi kekecewaan personal dengan perbuatan yang dapat merendahkan wibawa lembaga peradilan.
Parahnya lagi Nikita Mirzani juga menolak menggunakan baju tahanan usai sidang saat petugas kejaksaannya memintanya untuk menggunakan baju tahanan.
Secara yuridis, contempt of court adalah setiap tindakan atau ucapan yang bertujuan merendahkan martabat, wibawa, dan kehormatan lembaga peradilan, serta dapat menghalangi jalannya proses hukum.
![Momen Nikita Mirzani menolak meninggalkan ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 31 Juli 2025 [Suara.com/Adiyoga Priyambodo].](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/31/64168-momen-nikita-mirzani-menolak-meninggalkan-ruang-sidang.jpg)
Tindakan Nikita, yang dilakukan secara terbuka di hadapan aparat penegak hukum, dapat dikategorikan sebagai direct contempt atau penghinaan langsung karena terjadi di dalam gedung pengadilan dan berpotensi mengganggu ketertiban.
Ancaman sanksi bagi pelaku contempt of court diatur dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Baca Juga: Selain Reza Gladys, BPOM RI Juga Nyatakan Skincare Shella Saukia Mengandung Bahan Berbahaya
Pasal 217 KUHP, misalnya, menyatakan bahwa siapa pun yang membuat kegaduhan dalam sidang pengadilan saat hakim sedang menjalankan tugasnya dapat dikenai sanksi pidana.
Dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru, sanksi untuk perbuatan serupa diatur dalam Pasal 279 dengan ancaman pidana denda Kategori II, yang nilainya mencapai Rp 10.000.000.
Tidak hanya itu, jika amarah tersebut disertai dengan ucapan yang menghina langsung kepada hakim, potensi hukumnya bisa lebih berat.
Hakim memiliki diskresi untuk mengambil tindakan langsung, seperti memerintahkan pelaku untuk ditahan, atau melaporkannya sebagai tindak pidana terpisah.
Jika dianggap melanggar beberapa pasal sekaligus, akumulasi denda bisa mencapai puluhan juta rupiah, belum termasuk potensi ancaman pidana kurungan.
Meskipun luapan emosi bisa dipandang sebagai reaksi manusiawi atas tekanan psikologis selama persidangan, hukum acara yang berlaku di pengadilan menetapkan standar perilaku yang ketat bagi semua pihak, tanpa terkecuali.
Wibawa pengadilan harus dijaga untuk memastikan proses pencarian keadilan dapat berjalan dengan adil, tenang, dan objektif.
Kini, bola panas berada di tangan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
![Nikita Mirzani hadir sidang lanjutan kasus pemerasan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 31 Juli 2025 [Suara.com/Adiyoga Priyambodo].](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/31/28546-nikita-mirzani.jpg)
Apakah insiden amarah Nikita Mirzani akan dianggap sebagai pelanggaran serius yang memerlukan tindakan hukum, atau akan dipandang sebagai dinamika persidangan semata?
Keputusan tersebut akan menjadi preseden penting mengenai penegakan marwah lembaga peradilan di Indonesia.