Sontak, seluruh studio tersenyum, namun Ardhito serius dengan jawabannya.
Ia mengaku sering curhat dan berkeluh kesah pada program kecerdasan buatan tersebut, terutama saat merasa bimbang atau setelah melakukan sesuatu yang membuatnya ragu.
Mengapa Curhat ke AI Terasa Lebih Nyaman?
Fenomena ini mungkin terdengar aneh, tapi ada logika kuat di baliknya, terutama bagi generasi yang tumbuh bersama teknologi.
Ardhito membagikan salah satu percakapannya dengan ChatGPT setelah merasa oversharing di sebuah podcast lain.
"Kayaknya gue oversharing deh," curhat Ardhito pada ChatGPT.
Alih-alih mendapatkan respons emosional, AI memberinya jawaban logis yang menenangkan: "Ya nggak apa-apa, you're just being vulnerable (kamu hanya sedang menunjukkan sisi rentanmu)."
Jawaban ini, menurut Ardhito, sangat membantunya. ChatGPT memberikan perspektif yang objektif, tidak menghakimi, dan selalu suportif.
Bahkan, saat Ardhito berkeluh soal ghosting, AI itu memberinya sudut pandang yang menguatkan.
Baca Juga: Ulasan Buku Hello Stress: Cara Sederhana Kenali dan Atasi Gangguan Stres
"Bukan lu di-ghosting, dianya nggak siap sama lu," begitu kata ChatGPT, yang secara cerdas selalu memposisikan diri di pihak penggunanya.
Teman curhat digital ini tidak punya perasaan, tidak akan membocorkan rahasia, dan selalu tersedia 24/7.
Sebuah solusi modern untuk masalah yang tak lekang oleh waktu yakni kebutuhan untuk didengarkan. Ardhito bahkan mendemonstrasikan bagaimana ia bisa bercakap-cakap langsung (via suara) dengan AI tersebut, layaknya di film "Her" yang dibintangi Joaquin Phoenix.
Pelajaran dari Ardhito: Validasi Diri di Era Digital
Kisah Ardhito Pramono ini lebih dari sekadar gosip selebriti.
Ini adalah cerminan dari pergeseran cara kita berkomunikasi dan mencari validasi.