- Film dokumenter Surat untuk Presiden dinilai tak seusai realita di NTT
- Warga NTT dipastikan sering makan enak
- warga NTT disebut tak butuh Makanan Bergizi Gratis (MBG)
Suara.com - Film dokumenter Surat untuk Presiden yang diproduksi TVRI menuai kritik tajam dari aktivis lokal Nusa Tenggara Timur (NTT).
Film ini diluncurkan pada 24 Agustus 2025 sebagai bagian dari perayaan HUT ke-63 TVRI sekaligus mendukung program pemerintah Makan Bergizi Gratis (MBG).
Kisah ini diklaim diangkat berasal dari pengalaman nyata seorang anak sekolah dasar bernama Brian di Kabupaten Kupang.
Dalam cerita, Brian yang berasal dari keluarga kurang mampu merasa terbantu dengan adanya program MBG sehingga menuliskan surat khusus kepada Presiden.
Film ini ditujukan untuk menggambarkan dampak positif program MBG sekaligus menegaskan pentingnya dukungan bagi generasi muda agar tumbuh sehat dan berdaya saing.
Lokasi syuting dilakukan di SD Inpres Noelbaki, Kupang, dengan melibatkan aktor-aktor lokal NTT sebagai bentuk autentisitas.
Bahkan, proses produksi turut dihadiri Gubernur NTT Melki Laka Lena dan Direktur Utama TVRI Iman Brotoseno sebagai bentuk dukungan langsung.
Namun, alih-alih dipuji, film ini justru memunculkan perdebatan.
Aktivis Honey Lestari Liwe menilai narasi dalam film terlalu menekankan pada kemiskinan yang tidak sesuai dengan realitas masyarakat NTT.
Baca Juga: BPOM Siapkan Uji Lab Terkait Dugaan Food Tray MBG Mengandung Lemak Babi
"Sepertinya kami di NTT tidak semenyedihkan atau melarat ini, urusan makan saja sampai berharap dan bersurat ke pejabat?" ucap Honey melalui media sosial.
"Dibuatkan film drama dokumenter yang launchingnya di Pacific Place, Jakarta pula. Wow," lanjutnya seperti dikutip pada Rabu, 27 Agustus 2025.
Dia juga menyoroti salah satu dialog dalam film yang berbunyi "kami tidak pernah makan enak" karena dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.
Menurutnya, warga pesisir NTT justru memiliki akses melimpah pada ikan segar yang sehat dan bergizi.
Honey menegaskan bahwa persoalan utama di NTT bukanlah ketersediaan makanan, melainkan akses infrastruktur, fasilitas pendidikan, dan layanan kesehatan yang belum merata.
Narasi yang menampilkan anak-anak NTT sebagai pihak yang harus dikasihani dinilai memperkuat stigma lama tentang daerah tersebut.
"Semiskin-miskinnya warga NTT, makanan tidak pernah jadi masalah, apalagi sampai ngemis," ujarnya.
Honey juga menilai bahwa makanan bergizi yang ditampilkan dalam film bukanlah pangan lokal khas NTT, sehingga seakan menunjukkan ketergantungan pada pasokan dari luar daerah.
Dia menilai pesan yang dibangun film tersebut lebih menekankan ucapan terima kasih kepada pejabat, ketimbang menggambarkan kondisi riil masyarakat.
Padahal, menurut Honey, banyak anak di NTT yang masih harus berjalan kaki sangat jauh untuk bersekolah dengan fasilitas yang minim.
Persoalan pemerataan pembangunan menurutnya jauh lebih mendesak untuk ditangani ketimbang sekadar bantuan makanan.
"Kalau jalan bagus, kami bisa beli benih dan jual hasil panen. Kalau pemerataan fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru diperhatikan, anak-anak kami bisa mendapat pendidikan yang baik," jelasnya.
Dia juga menilai bahwa program MBG yang dijadikan latar film bahkan tidak menjangkau seluruh desa di NTT.
Hal ini membuat film tersebut semakin dianggap tidak relevan dengan kenyataan di lapangan.
Honey menekankan bahwa masyarakat NTT tidak ingin terus-menerus digambarkan sebagai kelompok yang miskin, bodoh, dan patut dikasihani.

"Karena aku orang NTT, jadi aku merasa harus speak for my people. Kita tuh nggak semenyedihkan dan seburuk itu. Tapi lihatlah, kita di-framing yang tahu lah ujung-ujungnya ke mana," tegasnya.
Dia menambahkan bahwa solusi untuk masalah stunting bukanlah sekadar bantuan makanan gratis, melainkan pembangunan infrastruktur dasar yang nyata.
"Kami cuma butuh akses, fasilitas, bahkan to be honest, kami nggak butuh makan bergizi gratis. Bukan itu jawaban untuk stunting. Kami butuh fasilitas pendidikan, jalan yang bagus, waduk atau dam untuk air," pungkas Honey.
Kontributor : Chusnul Chotimah