Suara.com - Kementerian Kesehatan RI mengklarifikasi pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin soal tukang gigi praktik di Puskesmas adalah kesalahan penggunaan istilah. Ini karena yang dimaksud profesi terapis gigi dan mulut (TGM) bukan tukang gigi.
Melalui pernyataan yang diterima Suara.com, Rabu (16/4/2025) Kemenkes juga secara tegas menerangkan Menkes Budi tidak akan menambah skill tukang gigi untuk bisa melayani dan mengobati masalah gigi di Puskesmas.
"Pernyataan Menkes yang akan mendidik Tukang Gigi agar bisa ditingkatkan skill-nya, merupakan kesalahan istilah. Yang beliau maksud adalah Terapis Gigi dan Mulut (TGM) yang memiliki pendidikan formal. Jadi jelas Menkes tidak akan meningkatkan skill Tukang Gigi," ungkap Kemenkes.
Lebih lanjut Kemenkes membenarkan tidak semua Puskesmas memiliki layanan kesehatan gigi dan mulut karena tidak adanya dokter gigi di semua fasilitas kesehatan tersebut. Padahal dari temuan program Cek Kesehatan Gratis (CGK) yang diluncurkan pada Maret 2025 lalu, ditemukan lebih dari setengah alias mayoritas masalah kesehatan yang dialami masyarakat yakni terkait kesehatan gigi dan mulut.
Inilah sebabnya pemerintah berusaha lakukan segala upaya untuk menghapus jarak atau gap kekurangan dokter gigi di Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan terdekat dari masyarakat.
“Berdasarkan hasil CKG, lebih dari 50% masyarakat Indonesia mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut. Sedangkan, jumlah dokter gigi kita kurang, per April 2025 di Indonesia terdapat 73,2% (7.475) Puskesmas yang sudah tersedia dokter gigi dan 26.8% (2.737) yang belum ada dokter gigi. Distribusinya pun lebih banyak di kota-kota besar, bukan di daerah, apalagi daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar),” papar Kemenkes.

Sayangnya kekurangan dokter gigi ini menurut Kemenkes tidak dibarengi dengan lulusan dari Universitas Fakultas l Kedokteran Gigi yang jumlahnya masih terbatas. Terlebih tidak semua fakultas gigi selalu meluluskan dokter setiap tahunnya.
“Di samping itu, masih terdapat gap sebesar 10.309 orang antara jumlah dokter gigi yang tersedia dengan kebutuhan ideal secara nasional. Sementara itu, jumlah lulusan dokter gigi per tahun lebih kurang hanya sekitar 2.650 orang,” jelas keterangan tersebut.
“Selain itu untuk pendidikan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) terdapat 38. Melihat situasi tersebut, perlu terobosan cepat dan serius untuk memperbaiki kualitas kesehatan gigi masyarakat. Pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang sangat diperlukan masyarakat harus bisa segera diperluas dan dipermudah aksesnya,” tambah Kemenkes.
Baca Juga: Lecehkan Pasien saat USG, Kemenkes Segera Cabut STR Dokter Cabul di Garut
Di sisi lain, dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan 19/2024 tentang Penyelenggaraan Puskesmas, beberapa daerah bisa menambal kekosongan dokter gigi dengan memberdayakan tenaga kesehatan lain yang diberi tambahan kompetensi, contohnya profesi terapis gigi dan mulut (TGM).
Sebelumnya Ketua Umum Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) drg. Usman Sumantri menanggapi usulan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin soal 'tukang gigi' bisa ikut memberikan pelayanan di Puskesmas setelah nantinya diberikan kompetensi tambahan.
drg. Usman melalui keterangannya mengatakan usulan yang diduga sebagai kesalahan bicara alias slip of tongue ini, apabila benar-benar dipraktikan dan diterapkan ia khawatir bisa menurunkan pelayanan dan kualitas pengobatan kesehatan gigi dan mulut.
"Kekurangan tenaga dokter gigi memang menjadi persoalan serius, terutama di daerah terpencil kepulauan dan perbatasan. Namun di sisi lain, solusi yang ditawarkan (apabila benar apa yang dimaksud) justru menimbulkan kekhawatiran akan turunnya standar keselamatan pasien dan kualitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut," ujar drg. Usman di Graha PDGI, Utan Kayu, Jakarta Pusat, Selasa (15/4/2025).
Tidak hanya itu, pelayanan kesehatan yang dilakukan 'tukang gigi' yang bukan tenaga kesehatan ini juga berpotensi melanggar Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, yang menegaskan bahwa hanya tenaga medis dan tenaga kesehatan resmi yang memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) yang dapat memberikan layanan kesehatan.
"Pelanggaran terhadap ketentuan ini tidak hanya merugikan pasien, tetapi juga berpotensi dipidana. PB PDGI menegaskan bahwa memperbolehkan pihak non-profesional menjalankan praktik medis adalah tindakan yang melanggar hukum dan berisiko besar terhadap keselamatan masyarakat," tambah drg. Usman.