Suara.com - Ketika seseorang menemukan benjolan di payudaranya, ketakutan akan kanker sering kali menjadi reaksi pertama. Bahkan, penyakit ganas itu dianggap menjadi momok yang akan mengancam jiwa seseorang.
Namun, menurut dr. Andhika Rahman, Sp.PD-KHOM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam sekaligus Konsultan Hematologi-Onkologi Medik, tidak semua benjolan di payudara adalah pertanda kanker ganas.
“Jadi tidak semua benjolan berarti keganasan (kanker), dan tidak semua keganasan harus langsung dioperasi,” ujarnya dikutip dari ANTARA pada Rabu (23//4/2025).
Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini menekankan bahwa langkah pertama dan paling penting ketika seseorang menemukan benjolan adalah melakukan biopsi.
Perlu diketahui, Biopsi adalah prosedur medis di mana sampel jaringan diambil dari benjolan dan diperiksa di laboratorium. Hasil dari biopsi inilah yang akan menjadi dasar penentuan apakah benjolan tersebut bersifat jinak atau ganas.
“Yang perlu terus-menerus diedukasi kepada masyarakat adalah bahwa benjolan itu harus diperiksa lebih lanjut, dan tidak bisa disimpulkan hanya dari perabaan atau dugaan,” tambah Dokter Spesialis Penyakit Dalam itu.
Melalui pemeriksaan yang akurat, dokter bisa menentukan jenis kanker yang diderita pasien, bila memang terbukti ganas. Dari sana, pengobatan yang tepat bisa dirancang apakah melalui operasi, kemoterapi, radiasi, atau terapi hormonal.
“Dengan pemeriksaan imunohistokimia (IHK), kita bisa tahu karakter sel kanker. Dari situ, baru kita bisa tahu obat apa yang paling sesuai untuk menyerang kanker tersebut,” jelas dr. Andhika.
Salah satu kekeliruan umum di masyarakat adalah anggapan bahwa semua kanker payudara harus ditangani dengan pengangkatan payudara secara total atau prosedur mastektomi radikal.
Baca Juga: Waspadai 9 Gejala Kesehatan Ini: Biasa Dianggap Sepele, Bisa Jadi Gejala Kanker
Padahal, menurut dr. Andhika, pengobatan modern kini memungkinkan tindakan yang lebih konservatif dan tidak selalu melibatkan pengangkatan seluruh jaringan payudara.
“Dengan kemajuan terapi dan diagnosis dini, benjolan bisa lebih dulu dikecilkan dengan terapi sehingga tindakan operasi pun menjadi lebih minimalis,” jelasnya. Ini berarti, pasien berpeluang besar mempertahankan bentuk payudara mereka tanpa mengurangi efektivitas pengobatan.
Namun ia juga mengingatkan bahwa terdapat praktik yang kadang terlalu terburu-buru dalam menyarankan mastektomi, dan karena itu penting bagi pasien untuk bersikap kritis dan proaktif terhadap pengambilan keputusan.
“Pasien punya hak untuk bertanya, berpikir, dan mempertimbangkan pilihan. Jangan merasa harus segera menyetujui operasi tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang dihadapi,” tutur Dokter Andika.
Untuk deteksi awal, ia menyarankan agar perempuan di atas usia 40 tahun secara rutin melakukan pemeriksaan mamografi dan USG payudara. Langkah ini penting untuk mendeteksi kemungkinan kanker sejak dini, sebelum menyebar lebih luas dan menjadi lebih sulit ditangani.
“Saya selalu tekankan, pasien memiliki hak untuk sabar. Hak untuk tahu lebih banyak. Tidak perlu langsung terburu-buru ke meja operasi,” ujarnya tegas.
Di tengah meningkatnya kesadaran akan kanker payudara, pesan dr. Andhika mengingatkan kita bahwa edukasi yang tepat dan penghormatan terhadap hak pasien adalah dua hal yang sama pentingnya dengan tindakan medis itu sendiri. Kanker payudara, seperti banyak jenis kanker lainnya, membutuhkan penanganan yang personal dan berbasis data—bukan ketakutan.
Sebagai penutup, dr. Andhika menekankan pentingnya kolaborasi antara pasien dan dokter. Keputusan medis yang baik adalah keputusan yang diambil bersama, dengan pemahaman menyeluruh tentang kondisi, risiko, dan pilihan yang tersedia.
“Ketika pasien paham apa yang sedang dihadapi, maka proses penyembuhan juga bisa berjalan dengan lebih tenang, lebih manusiawi,” tutupnya.