Cerita menyentuh juga datang dari Annisa Kharisma, atau yang akrab disapa Tata, perwakilan dari YMGI. Sebagai pasien MG, Tata sempat mengalami fase penuh kebingungan dan rasa tidak dipercaya.
“Orang-orang bilang saya cuma capek, stres kerja, atau kurang tidur. Tapi tubuh saya terus melemah. Saya bahkan mulai meragukan diri saya sendiri,” ujarnya dengan getir. “Saya ingin orang tahu, bahwa ‘lelah’ bisa berarti sesuatu yang lebih serius. Dengarkan tubuh Anda. Dengarkan orang lain. Dan jangan ragu untuk periksa ke dokter.”
Ancaman Nyata: Risiko Kematian dan Krisis Pernapasan
Fakta medis menunjukkan bahwa MG bukan penyakit ringan. Risiko mortalitasnya mencapai 14% dalam 5 tahun dan melonjak menjadi 21% dalam 10 tahun setelah gejala muncul.
Salah satu kondisi paling berbahaya adalah krisis miastenik, di mana otot pernapasan lumpuh dan pasien membutuhkan perawatan intensif.
Idham Hamzah, Presiden Direktur Menarini Indonesia, menyatakan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari komitmen Menarini dalam mendukung pasien MG di Indonesia.
“Menarini tidak hanya menghadirkan terapi medis, tetapi juga ingin menjadi bagian dari perjuangan pasien dalam mendapatkan akses pengobatan yang lebih baik,” ujar Idham.
Menarini pun mengajak seluruh pemangku kepentingan, dokter, apoteker, pemerintah, dan komunitas pasienuntuk bahu-membahu menciptakan sistem kesehatan yang lebih responsif terhadap penyakit seperti Myasthenia Gravis.
Sebab, diagnosis dini bisa menyelamatkan nyawa. Dan dengan dukungan yang tepat, pasien MG bisa kembali menjalani hidup yang produktif, bermakna, dan tak lagi sekadar bertahan.
Baca Juga: dr Richard Lee Tanggapi Masalah Kulit yang Dialami Jokowi: Jangan Dibawa ke Dukun