Suara.com - Tubuh dan pikiran memiliki hubungan yang sangat erat. Ketika beban psikologis menumpuk tanpa penyaluran yang sehat, tubuh bisa ikut ‘berbicara’ melalui berbagai gejala fisik.
Inilah yang dikenal sebagai psikosomatik, suatu kondisi medis yang tampak seperti penyakit fisik biasa, namun sebenarnya dipicu oleh faktor psikologis dan emosional.
Menurut Dr. E. Mudjaddid, Sp.PD-KPsi, FINASIM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Psikosomatik di Bethsaida Hospital Gading Serpong, psikosomatik bukanlah keluhan yang dibuat-buat atau sekadar sugesti.
“Bukan berarti pasien berpura-pura sakit, tapi emosi negatif seperti kecemasan, ketakutan, atau trauma masa lalu dapat ‘menyamar’ menjadi gejala fisik di berbagai organ tubuh,” jelasnya.
Pasien yang mengalami psikosomatik bisa datang dengan keluhan yang bervariasi, seperti nyeri lambung, jantung berdebar, sesak napas, gangguan tidur, atau tubuh terasa lemas.
Namun, setelah menjalani serangkaian pemeriksaan medis, hasilnya sering kali menunjukkan bahwa tidak ada kelainan organik yang ditemukan.
Gejala-gejala tersebut bahkan bisa berpindah dari satu organ ke organ lainnya dalam waktu berdekatan, menambah kebingungan pasien dan tenaga medis.
Kondisi ini umumnya muncul sebagai respon tubuh terhadap emosi yang belum terselesaikan, seperti stres berkepanjangan, tekanan hidup, konflik personal, hingga trauma yang tidak diakui.
Meski tidak tergolong gangguan kejiwaan berat seperti psikotik, pasien tetap membutuhkan penanganan yang serius. Jika dibiarkan tanpa pengelolaan yang tepat, psikosomatik dapat berkembang menjadi kerusakan organik yang nyata.
Baca Juga: 0,2 Detik untuk Menentukan Gol: Ilmu di Balik Keputusan Cepat dalam Futsal
Menyadari kompleksitas kondisi ini, Bethsaida Hospital Gading Serpong menghadirkan layanan psikosomatik terpadu dalam lingkup Penyakit Dalam.
Pendekatannya tidak hanya mengandalkan pengobatan medis, tetapi juga menyentuh dimensi psikologis, sosial, dan spiritual pasien secara menyeluruh.
Penanganan dimulai dari pemeriksaan fisik menyeluruh dan pemberian obat sesuai kebutuhan. Namun, yang membedakan pendekatan Bethsaida adalah keberadaan psiko-edukasi, yaitu membangun hubungan komunikatif dan suportif antara dokter dan pasien agar pasien merasa didengar dan tidak sendirian.
Aspek sosial dan kultural pasien juga dipertimbangkan, karena tekanan ekonomi, konflik rumah tangga, hingga lingkungan kerja bisa menjadi akar masalah yang memicu gejala.
Selain itu, pendekatan spiritual juga menjadi bagian penting dalam proses penyembuhan, membantu pasien menemukan ketenangan batin melalui pemaknaan hidup yang lebih dalam.
“Kami memahami bahwa pasien dengan gangguan psikosomatik memerlukan pendekatan yang berbeda dan menyeluruh. Karena itu, Bethsaida menghadirkan layanan khusus dengan dukungan dokter spesialis yang profesional dan berpengalaman, termasuk konsultan psikosomatik,” ujar dr. Pitono, Direktur Bethsaida Hospital Gading Serpong.