Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Widya Mandira Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) Mikhael Rajamuda Bataona mengungkapkan, makna-makna simbolik yang direpresentasikan para pimpinan partai politik KIB dan KIR sejauh ini menunjukkan indikasi yang kuat.
Dalam narasi komunikasi politik yang muncul, mereka memiliki satu titik pijak yang sama, yaitu melawan pihak yang menolak melanjutkan visi kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Artinya, KIR dan KIB mempunyai situasi psikologis dan suasana kebatinan yang sama, yaitu menolak calon presiden yang menjadi antitesis Presiden Jokowi.
Menurutnya, bagi KIR maupun KIB, melanjutkan proyek pembangunan seperti Ibu Kota Negara (IKN), program hilirisasi bahan tambang seperti nikel, tembaga, program dana desa, pembangunan infrastruktur dan lainnya dalam rangka memperkuat perekonomian Indonesia adalah hal yang wajib.
Program-program tersebut merupakan kerja-kerja nyata Presiden Jokowi yang wajib dilanjutkan demi visi Indonesia hebat, sehingga bagi KIR, KIB maupun PDIP, taruhannya akan sangat mahal jika kepemimpinan berikutnya jatuh ke tangan kelompok yang menjadi anti tesis Presiden Jokowi.
"Inilah alasan rasional mengapa koalisi PDIP, KIB, KIR, berpeluang terjadi karena pada dasarnya mereka mempunyai situasi psikologis dan suasana kebatinan yang sama. Yaitu sebagai gerbong besar yang ingin melanjutkan program-program Presiden Jokowi," katanya seperti dikutip Antara.
Bataona mengatakan, hal lain dari simbolisme politik yang sering direpresentasikan KIB dan KIR, meski berbeda nama tetapi isinya sama, yaitu sama-sama ingin agar ada 'Jokowi baru' yang melanjutkan kepemimpinan bangsa ini.
"Pemegang 'kartu as' dua poros koalisi ini, adalah Presiden Jokowi. Artinya, dari yang terbaca secara politik, KIB adalah poros koalisi yang sengaja dikonsolidasikan dan sangat nampak sebagai representasi kekuatan Jokowi," katanya.
Baca Juga: Cak Imin Ungkap Hubungan KIB dan Koalisi Gerindra-PKB Makin Mesra, Sinyal Bakal Bergabung?