Lola menambahkan, perdagangan satwa langka juga merambah media sosial. Karena itu, ia berharap, kita semua berani melaporkan segala aktivitas perdagangan satwa langka kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat.
2. Edukasi soal satwa
Titin menyebutkan, melalui muatan lokal yang terangkum dalam kurikulum sekolah, guru bisa menjelaskan tentang habitat satwa di sekitar lingkungan sekolah itu. Misalnya, siswa perlu berhati-hati ketika melewati daerah sungai karena area itu merupakan habitat buaya. Guru juga bisa mengingatkan pentingnya mematuhi papan larangan yang sudah diletakkan di sana. Dengan begitu, konflik antara manusia dan hewan liar bisa diminimalkan.
“Namun, edukasi ini tidak mudah, karena media sosial diramaikan oleh para selebgram yang sibuk memamerkan binatang peliharaan mereka, yang sebenarnya tidak boleh dipelihara. Misalnya, monyet. Orang jadi tertarik untuk membeli juga, terutama anak-anak. Ketika anak jadi penggemar selebgram tersebut, mereka jadi sulit memahami soal konservasi,” kata Titin, yang merupakan aktivis perlindungan fauna Indonesia.
Jika Anda adalah orang awam yang belum punya banyak pengetahuan soal fauna, Anda bisa berkolaborasi dengan mereka yang punya pengalaman di lapangan. Titin mencontohkan, sekolah bisa bekerja sama dengan BKSDA atau jagawana yang menjaga hutan sekitar sekolah. Mereka bisa menceritakan kisah-kisah memilukan tentang satwa yang mati karena tersiksa oleh jerat pemburu atau mati karena kebakaran yang disebabkan oleh puntung rokok.
Sebetulnya, kebun binatang harus menjadi sarana edukasi soal satwa, bukan hanya sebagai sarana hiburan. Tapi, perilaku hewan di sana harus dibuat seperti di habitat aslinya. Titin melihat hal ini sulit dilakukan, karena luas areanya tidak memungkinkan.
3. Tingkatkan awareness
Kita perlu meningkatkan kesadartahuan orang-orang di sekitar tentang pentingnya lahan gambut sebagai habitat flora dan fauna yang dilindungi. Kalau ekosistem rusak, maka binatang juga akan punah. Akibatnya, rantai makanan juga akan rusak. Keberlangsungan suatu ekosistem tidak ditentukan oleh satu atau dua penghuni saja, tapi harus dilihat secara keseluruhan dalam satu kesatuan, karena saling berhubungan.

Misalnya, pohon besar berfungsi sebagai tempat tinggal dan makan orangutan. Kalau pohonnya habis, mereka mau tinggal di mana dan mau makan apa? Padahal, orangutan berperan menyibakkan kanopi di atas sarangnya, sehingga sinar matahari pagi masuk ke dalam hutan dan terjadilah proses fotosintesis yang menguntungkan tumbuhan di dalam hutan.
“Kampanye untuk meningkatkan awareness ini perlu dilakukan secara konsisten. Biasanya isu kerusakan gambut baru muncul setelah ada kebakaran hutan. Tapi, begitu tetes hujan pertama jatuh, orang perlahan lupa pada isu tersebut, sampai tiba kebakaran berikutnya,” kata Iola.
Kampanye itu tak selalu harus turun ke jalan. Anda bisa memilih untuk ‘berkampanye’ sesuai kapasitas. Misalnya, pekerja seni bisa membuat karya yang mengungkap kegelisahan soal kerusakan lahan gambut. Para content creator bisa berkampanye dengan membuat konten keren di akun media sosialnya. Begitulah yang dilakukan oleh Titin, yang mengajar mata kuliah Jurnalistik Spesialisasi Kompartemen Lingkungan.
Baca Juga: 5 Fakta Unik Badak Jawa, Satwa Langka yang Terancam Punah
“Penelitian untuk skripsi diarahkan ke lingkungan, misalnya meneliti konflik antara buaya dan manusia melalui pemberitaan media,” katanya.
4. Beli produk buatan masyarakat lokal
Iola menjelaskan, di area lahan gambut terdapat banyak tanaman yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Misalnya, pohon tengkawang (illipe nut) yang dari buahnya saja banyak sekali manfaatnya, mulai dari obat, bahan makanan, sampai produk kecantikan.
“Minyak tengkawang ini jadi hits sekitar lima enam tahun lalu. Pohon ini endemik hutan hujan tropis Kalimantan. Namun, dapat tumbuh dengan baik di lahan gambut karena tahan lahan basah tergenang,” katanya.
Ada juga hasil kerajinan anyaman yang dibuat dari tanaman purun, seperti sandal, tikar, tas, dan topi. Hanya saja, pasarnya masih belum luas. Selain itu, variasi produknya juga belum banyak
Saatnya #TimeforActionIndonesia. Anda yang memiliki akses yang lebih luas bisa membantu dengan membukakan pasar, misalnya mempromosikan via media sosial. Di samping itu, bantuan Anda juga diperlukan untuk mencari tahu, komoditas-komoditas seperti itu bisa dimanfaatkan sebagai apa.
“Yang merasa punya akses luas terhadap pengetahuan dan teknologi dapat membantu, misalnya dengan melakukan banyak riset serta inovasi-inovasi baru ramah lingkungan,” kata Iola.