"Ulama berkata: ‘Dan mengonsumsi babi hukumya haram karena makanan akan menjadi jauhar (zat) pada tubuh orang yang memakannya, lalu ia pasti akan terpengaruh oleh akhlak dan sifat apa yang dimakannya. Padahal babi diciptakan sejak awal dengan mempunyai sifat-sifat yang sangat tercela, di antaranya kesenangan dan ketertarikan yang sangat kuat pada hal-hal yang dilarang dan tidak adaya rasa ghairah atau kecemburuan padanya. Karenanya orang diharamkan memakanya agar sifat-sifat buruk babi itu tidak tumbuh pada dirinya’. (Ibnu Hajar al-Haitami, Az-Zawajir ‘anil Iqtirafil Kabair, juz II, halaman 68).
Diriwayatkan pula bahwa ketika komunitas kaum Frank, sekelompok suku Jermanik yang mulai eksis di masa Kekaisaran Romawi, terbiasa mengonsumsi babi, maka hal itu membuat mereka meledak-ledak melakukan berbagai larangan agamanya, yaitu Nasrani. Bahkan mereka pun tak punya rasa cemburu ketika pasangannya diganggu orang lain.
Hal ini berbeda dengan hewan kaki empat lain yang tidak dilarang untuk dikonsumsi, misalnya kambing. Menurut ulama kambing tidak memiliki sifat-sifat buruk sebagaimana babi, sehingga memakannya tidak akan menyebabkan orang tertulari sifat-sifat buruk seperti itu.
Tentu sebenarnya kambing juga punya sifat buruk, tetapi tidak separah babi. Sehingga tujuan utama memakannya untuk mendapatkan asupan energi bagi tubuh, tidak dapat digugurkan karena bahaya yang lebih besar sebagaimana bahaya memakan babi.