Lima tahun kemudian, tepatnya tahun 2008 ia mendapat gelar Ph.D.Med.Sc di Niigata University of Pharmacy and Applied Life Science di Jepang.
Sepanjang perjalanan kariernya, ia sudah menelurkan berbagai prestasi seperti menjadi salah satu pemilik paten metode pemetaan otak manusia di tahun 2009.
Metode ini juga yang digunakan oleh para ilmuwan untuk menggambarkan dinamika pada otak manusia secara terperinci.
Ia juga menjadi salah satu penulis yang mempopulerkan sistem AlstR (allatostatin receptor) yang dipublikasikan di jurnal Frontiers of Neural Circuit edisi 20, Januari 2012.
Pada 2014 Taruna Ikrar dan rekannya melakukan penelitian yang tentang kualitas tidur yang dipengaruhi oleh keseimbangan hormon melanin-concentrating hormone (MCH).
Namun selain sejumlah prestasi, ia juga pernah tersandung kontroversi salah satunya pada tahun 2017 ketika ia bergelut dengan nominasi Penghargaan Nobel 2016 untuk penemuan optogenetics.
Klaim nominasi nobel untuk penemuan optogenetics ini disangkal oleh Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional atau I-4.
Selain itu, dalam klaim nominasi Nobelnya, ia juga mengeklaim telah berafiliasi sebagai dekan dan profesor di National Health University (NHU) atau Pacific Health University (PHSU), Amerika Serikat.
Sementara itu, dalam edaran surat resminya, University of California menyatakan Taruna Ikrar tak pernah masuk dalam nominasi Nobel, meski pernah bekerja di kampus itu.
Baca Juga: Biodata Bupati Halmahera Selatan Usman Sidik, Meninggal saat Main Sepak Bola
Demikian biodata Taruna Ikrar yang gelar profesornya dicabut Nadiem Makarim.