Suara.com - TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno resmi dicabut Pemerintah RI.
Sebagai tindak lanjutnya, pimpinan MPR RI menyerahkan surat mengenai tidak berlakunya TAP MPRS 23 itu keluarga Sukarno pada Senin (9/9/2024) kemarin.
Surat tersebut diserahkan langsung kepada sejumlah anak Sukarno yang hadir, di antaranya Presiden Ke-5 RI Megawati Sukarnoputri, Guntur Sukarnoputra, Sukmawati Sukarnoputri, dan Guruh Sukarnoputra.
Dengan adanya penegasan tidak berlakunya TAP MPRS 23 itu, Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, berharap stigma terhadap Sukarno yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965 dan dicap sebagai pengkhianat, bisa hilang.
"Yang telah membuat luka mendalam bagi diri Bung Karno, keluarga, dan rakyat Indonesia yang mencintai Bung Karno sebagai pahlawan bangsanya, proklamator bangsa, dan penggali Pancasila," kata dia dikutip dari ANTARA.
Sukarno Jadi Tahanan Rumah
Bung Karno dijadikan tahanan rumah tak lama setelah Suharto menjadi Presiden RI pada 12 Maret 1967. Pemerintah saat itu menganggap Bapak Proklamator itu terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 atau Gestapu.
Awalnya Bung Karno ditempatkan di paviliun Istana Bogor. Sementara anak-anaknya dipulangkan ke rumah Fatmawati.
Kegiatan Sukarno selama di Istana Bogor hanya memeriksa tanaman, membersihkan patung dan berolahraga. Pergerakan Bung Karno dibatasi selama di Istana Bogor.
Pangdam Siliwangi HR Dharsono melarang Sukarno keluar dari wilayah hukum Kodam Siliwangi. Jika ada kegiatan di luar Istana Bogor, Bung Karno harus meminta izin Pangdam Siliwangi.
Sementara Pangdam Jaya Amir Machmud juga melarang Sukarno masuk ke dalam wilayah DKI Jakarta. Karena itu setiap Bung Karno harus ke Jakarta untuk pemeriksaan kesehatannya, ia harus mengantongi izin dari Dua Pangdam tersebut.
Ajudan Sukarno, Sidarto Danusubroto harus bolak baik ke Kodam Siliwangi dan Kodam Jaya setiap Bung Karno akan ke Jakarta untuk pemeriksaan medis. Di Kodam, Danu mengaku dipandang sinis oleh para prajurit TNI karena dicap sebagai Orang Sukarno.
Tinggal di lingkungan Istana membuat Sukarno lama kelamaan tidak nyaman. Ia meminta pindah. Permintaannya dikabulkan. Sukarno pindah ke rumah peristirahatannya di Batutulis, Bogor.
Di sana Sukarno hampir setiap hari diinterogasi petugas mengenai keterlibatannya dalam peristiwa Gestapu.
Tak betah menghadapi situasi seperti itu, Sukarno minta pindah ke Jakarta. Akhirnya Sukarno pindah ke Wisma Yaso.