Apakah Uang Monetisasi Konten Digital Halal? Ini Penjelasan Majelis Tarjih Muhammadiyah

Riki Chandra Suara.Com
Jum'at, 18 Juli 2025 | 15:24 WIB
Apakah Uang Monetisasi Konten Digital Halal? Ini Penjelasan Majelis Tarjih Muhammadiyah
Ilustrasi uang. [Dok. Pixabay]

Suara.com - Pertumbuhan monetisasi konten digital kian pesat di era modern, menciptakan peluang ekonomi luar biasa di berbagai platform seperti YouTube dan TikTok. Namun, di tengah potensi besar tersebut, umat Islam mulai mempertanyakan, apakah uang dari monetisasi konten digital itu halal?

Pertanyaan ini menjadi sorotan utama dalam Pengajian Tarjih daring yang diselenggarakan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Dalam forum itu, Bekti Hendrie Anto, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, mengulas secara mendalam persoalan hukum dan etika monetisasi dari sudut pandang Islam.

“Menguasai dunia digital adalah keniscayaan,” tegas Bekti, dikutip dari ulasan website resmi Muhammadiyah, Jumat (18/7/2025).

Ia mengutip kaidah fikih mala yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajib, yang berarti “sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya, maka sesuatu itu menjadi wajib.” Artinya, penguasaan dunia digital menjadi bagian penting dalam menjalankan ajaran agama di era saat ini.

Lebih jauh, Bekti menjelaskan bahwa monetisasi konten digital adalah proses mengubah produk atau aktivitas digital menjadi sumber pendapatan, seperti iklan, langganan, afiliasi, dan donasi.

Di YouTube, fitur monetisasi mencakup AdSense, Super Chat, hingga YouTube Shopping. Sementara TikTok menghadirkan Creator Reward, Live GI, dan Affiliate Marketing.

Data menunjukkan, potensi ekonomi dari monetisasi sangat besar. YouTube diperkirakan menghasilkan pendapatan iklan global sebesar $36,1 miliar pada 2024, dengan lebih dari 140 juta pengguna aktif di Indonesia. TikTok, yang memiliki 1,7 miliar pengguna global dan lebih dari 100 juta pengguna di Indonesia, diperkirakan meraih pendapatan $23 miliar pada tahun yang sama.

“Bahkan, konten kreator lokal di Indonesia bisa meraup Rp10.000 hingga Rp50.000 per seribu tayangan,” ungkap Bekti.

Meski begitu, Bekti mengingatkan bahwa monetisasi bukanlah kewajiban. “Konten bisa dibuat untuk dakwah, edukasi, dan penyebaran kebaikan tanpa orientasi komersial,” ujarnya.

Tiga Pilar Etika Monetisasi dalam Islam

Bekti menyampaikan tiga pilar penting yang harus diperhatikan umat Islam dalam melakukan monetisasi konten:

1. Niat yang Lurus dan Benar

Monetisasi harus dimulai dengan niat ibadah dan menyebarkan kebaikan, bukan hanya untuk viral atau materi. Niat menjadi fondasi utama dalam setiap amal.

2. Halalan Thayyiban

Semua konten dan cara monetisasi harus sesuai syariat. Dilarang menampilkan unsur penipuan, judi, riba, atau konten yang tidak bermanfaat. Promosi terhadap pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol), misalnya, termasuk yang tidak diperbolehkan.

3. Memberi Dampak Positif

Monetisasi seharusnya menghasilkan manfaat bagi umat, bukan sekadar keuntungan pribadi. Bekti mendorong pendekatan outcome-based dalam pembuatan konten digital.

“Pertanyaannya bukan hanya berapa banyak uang yang didapat, tetapi manfaat apa yang muncul, dan siapa yang menerimanya,” tambahnya.

Dalam praktiknya, kata Bekti, sistem monetisasi dari platform digital global tidak berbasis syariah. Oleh karena itu, pendekatan fikih darurat dan fikih prioritas bisa menjadi solusi jika terdapat unsur iklan yang bercampur antara halal dan haram.

Ia menekankan pentingnya memahami akad atau perjanjian dalam proses monetisasi, agar tidak terjebak dalam sistem yang mengandung unsur keharaman. Dalam beberapa kondisi darurat, penghasilan dari iklan yang tidak sesuai syariah bisa disucikan dan tidak digunakan untuk keperluan pribadi.

Bekti juga mengutip beberapa kaidah fikih untuk menghadapi dilema ini:

- Al-ashlu fi al-asyya’i al-ibahah (segala sesuatu asalnya boleh sampai ada dalil yang mengharamkan).

- Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil masalih (mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada meraih kebaikan).

- Idza tajahamutil masalih uddima ala minha (jika ada dua maslahat, pilih yang lebih besar manfaatnya).

Menurutnya, uang dari monetisasi konten digital dapat menjadi halal jika dilakukan dengan niat baik, cara yang etis, serta membawa manfaat yang nyata bagi masyarakat. Jika tidak dapat menghindari konten atau sistem yang bertentangan dengan prinsip Islam, maka sebaiknya monetisasi tidak dilakukan.

Sebagai penutup, Bekti menyatakan bahwa penguasaan dan pemanfaatan digital adalah bagian penting dari peradaban Islam masa kini. Namun, umat tetap dituntut untuk berhati-hati dan cermat dalam menyikapi setiap potensi keuntungan yang ditawarkan oleh era digital.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI