- Kebijakan BI melakukan burden sharing untuk biayai program Presiden Prabowo dipertanyakan urgensinya.
- Pernah dilakukan BI dengan pemerintahan Presiden Jokowi di era Covid-19.
- Dikhawatirkan akan memicu inflasi hingga turunnya kepercayaan pada Indonesia.
Suara.com - Center of Economics and Law Studies (Celios) mempertanyakan keputusan Bank Indonesia atau BI yang akan mengambil kebijakan pembagian beban bunga atau burden sharing dengan Kementerian Keuangan untuk mendukung program ekonomi kerakyatan dalam Astacita dari Presiden Prabowo Subianto.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira pekan ini di Jakarta mengatakan keputusan burden sharing perlu ditinjau dengan mempertimbangkan urgensinya.
Pasalnya, burden sharing seharusnya diambil ketika perekonomian menghadapi krisis, seperti dilakukan BI dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo di krisis akibat pandemi Covid-19 pada 2021 lalu.
Sementara saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,12 persen pada kuartal II-2025 dan ini menunjukkan kondisi ekonomi seharusnya baik-baik saja.
“Kalau pertumbuhannya di atas 5 persen, berarti bukan dalam kondisi krisis,” tegas Bhima.
Oleh karena itu, Bhima menyoroti urgensi intervensi moneter dalam kebijakan fiskal kali ini.
“Independensi Bank Indonesia itu harga mati,” ia mengingatkan.
Bhima khawatir keputusan "cetak uang" BI bisa mempengaruhi tingkat inflasi, lantaran uang yang beredar lebih banyak tanpa didukung peningkatan permintaan masyarakat.
Beban fiskal yang dilimpahkan ke moneter juga dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas keuangan. Lebih jauh, dia menyinggung kemungkinan dampaknya merambat pada penurunan rating utang Indonesia.
Baca Juga: Rupiah Melemah ke Rp16.426 per Dolar AS, BI Janji Terus Jaga Stabilitas
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan burden sharing dengan Kemenkeu bertujuan menekan beban fiskal pemerintah sehingga bank sentral turut mendorong pendanaan program ekonomi kerakyatan menjadi lebih terjangkau.
Sebagai bagian dari kebijakan moneternya yang ekspansif, BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder. Sebagian dana dari hasil pembelian SBN kemudian dialokasikan oleh Kemenkeu untuk program ekonomi kerakyatan, seperti perumahan rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).
BI dan Kemenkeu telah sepakat membagi beban bunga SBN melalui mekanisme burden sharing, masing-masing menanggung setengah.
Perry mencontohkan, untuk pendanaan perumahan rakyat, beban efektif masing-masing pihak sebesar 2,9 persen. Sementara untuk Koperasi Desa Merah Putih, bunga efektifnya 2,15 persen.
Berdasarkan data terkini, Perry menyebutkan bahwa bank sentral telah membeli SBN dari pasar sekunder sekitar Rp200 triliun.
Langkah ini tetap dilakukan secara hati-hati dan prudent karena merupakan bagian dari kebijakan moneter ekspansif yang menambah likuiditas di sistem keuangan.