Suara.com - Seruan harapan untuk membubarkan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggema di kalangan wargane. Bukan tanpa sebab, publik tampaknya sudah jengah dengan kebijakan yang dibuat maupun kasus korupsi yang membayangi.
Terbaru, sorotan publik tertuju pada aksi anggota DPR yang asyik berjoget usai sidang tahunan MPR pada 15 Agustus 2025. Mereka bergoyang mengikuti irama lagu Sajojo dan Fa Mi Re.
Tak sedikit netter yang meluapkan amarahnya lantaran menilai aksi tersebut nir empati dengan kondisi rakyat yang mengalami berbagai kesulitan di kehidupan.
Lantas sebenarnya apakah DPR bisa dibubarkan dan siapa yang berwenang?
DPR sebenarnya pernah dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 1960 melalui Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960 tentang Pembaharuan Susunan Dewan Perwakilan Rakyat.
Melalui Penetapan Presiden tertanggal 5 Maret 1960 itu, Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 karena dinilai tidak sejalan dengan arah kebijakan pemerintah, terutama setelah penolakan terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
Sebagai tindak lanjut, Soekarno menerbitkan Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960 yang menetapkan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS).
Dalam ketentuan tersebut, sebanyak 283 individu diangkat sebagai anggota DPR-GR untuk menggantikan DPR yang telah dibubarkan.

Hal yang sama hampir terjadi di masa Presiden Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, melalui Dekrit Presiden 23 Juli 2001. Namun, dekrit tersebut dibatalkan oleh MPR melalui Sidang Istimewa MPR.
Baca Juga: Connie Ungkap Perang Dingin Elite Solo vs AHY, Tiket Cawapres Prabowo 2029 Terancam?
Melalui sidang istimewa itu pula Gus Dur lengser dari jabatannya sebagai Presiden keempat Indonesia.
Presiden Tidak Bisa Membubarkan DPR
Membubarkan DPR tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan, presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tertinggi di tanah air sebenarnya tidak dapat melakukannya.
Hal itu telah diatur dalam Undang-Undang 1945. Pada pasal 7C berbunyi, "Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat".
Selain itu, Indonesia menerapkan sistem pemerintahan presidensial yang menegaskan pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara independen.
Dalam sistem ini, presiden tidak dapat diberhentikan oleh DPR kecuali melalui mekanisme pemakzulan (impeachment) sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Anggota DPR merupakan hasil pilihan langsung dari rakyat melalui pemilihan umum, sehingga masa jabatan mereka tidak dapat diubah atau dipengaruhi secara sepihak oleh presiden.
Siapa yang Bisa Membubarkan DPR?
Mengutip laman Hukum Online, cara konstitusional untuk membubarkan DPR adalah oleh para anggota DPR itu sendiri.
Untuk sampai pada pembubaran oleh anggota DPR sendiri diperlukan upaya pelemahan internal di tubuh DPR agar muncul mosi pembubaran dari dalam lembaga itu sendiri.
Namun, perlu diingat bahwa selama masih ada anggota DPR yang tidak menyetujui pembubaran tersebut, maka DPR tidak bisa bubar secara institusional.
Langkah semacam itu memang tergolong tidak lazim dalam sistem presidensial, namun secara konstitusional tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit melarangnya.
Cara di atas akan membuat DPR mengalami disfungsi, yang pada akhirnya menggerus legitimasi lembaga tersebut di mata publik.
Kebuntuan politik yang timbul dari situasi ini berpotensi menciptakan celah konstitusional bagi presiden, dibantu dukungan dari militer, untuk mengambil langkah pembubaran DPR.
Secara tidak langsung, ketegangan antara presiden dan DPR pun bergeser menjadi konflik internal di tubuh DPR itu sendiri. Namun, pada akhirnya akan menciptakan masalah berkepanjangan yang memengaruhi nasib seluruh bangsa Indonesia.