Batik Slobog Berasal dari Mana? Dipakai Cucu Bung Hatta Kritik Pemerintah

Husna Rahmayunita Suara.Com
Selasa, 19 Agustus 2025 | 12:15 WIB
Batik Slobog Berasal dari Mana? Dipakai Cucu Bung Hatta Kritik Pemerintah
Batik Slobog (kolase)

Suara.com - Batik Slobog menjadi sorotan publik setelah Gustika Jusuf, cucu Mohammad Hatta, memakainya saat memperingati 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Lantas, batik Slobog berasal dari mana?

Pilihan busana Gustika langsung menarik perhatian karena dianggap bukan sekadar soal gaya, melainkan sarat makna dan pesan simbolik.

Gustika memanfaatkan batik Slobog sebagai cara menyampaikan kritik sosial dan keprihatinan terhadap situasi negara dengan cara yang elegan.

Jika Anda penasaran batik Slobog berasal dari mana, simak penjelasan lengkap terkait asal usul sekaligus makna filosofis dari motif batik tersebut.

Asal Usul dan Makna Batik Slobog

Batik Slobog berkembang di Yogyakarta pada abad ke-17. Nama "Slobog" sendiri berasal dari kata Jawa labok, yang berarti "longgar" atau "lapang".

Makna ini terkait dengan filosofi kehidupan dan kematian dalam budaya Jawa. Motif batik ini memang biasanya dipakai dalam acara berkabung dan pemakaman.

Motif Slobog berbentuk geometris dengan pola kotak-kotak yang dipisahkan oleh dua garis diagonal, membentuk empat potongan segitiga.

Baca Juga: Gustika Hatta: Indonesia Kini Dipimpin Presiden Penculik dan Wakil "Anak Haram Konstitusi"

Setiap segitiga dihiasi dengan titik-titik kecil di sekelilingnya, melambangkan siklus kehidupan manusia.

Filosofi di balik motif ini mengajarkan bahwa hidup dan mati adalah bagian dari perjalanan manusia menuju Tuhan.

Dengan kata lain, batik ini menjadi simbol pengantar jenazah dan doa bagi keluarga yang ditinggalkan agar diberi kesabaran.

Karena makna khusus ini, batik Slobog sebaiknya tidak digunakan dalam acara pernikahan atau syukuran, melainkan hanya dalam prosesi berkabung, baik untuk menutupi jenazah, sebagai alas peti, maupun digunakan oleh pelayat.

Batik Slobog dan Kritik Elegan Cucu Bung Hatta

Menariknya, batik Slobog kini tidak hanya sekadar warisan budaya, tetapi juga dijadikan sarana ekspresi di zaman modern.

Gustika Fardani Jusuf, atau yang akrab dikenal sebagai cucu Bung Hatta, memanfaatkan batik ini untuk menyampaikan kritik terhadap kondisi bangsa.

Perempuan kelahiran 19 Januari 1994 itu hadir pada peringatan 80 tahun kemerdekaan RI dengan mengenakan kebaya hitam yang dikombinasikan dengan batik Slobog.

Dalam budaya Jawa, pemilihan kain bukan sekadar soal busana, melainkan juga sarana komunikasi simbolik.

Dengan memilih motif Slobog, Gustika menyampaikan pesan simbolis mengenai keprihatinannya terhadap berbagai persoalan negara, termasuk hak asasi manusia dan kebijakan kontroversial.

"Di hari kemerdekaan tahun ini, rasa syukurku bercampur dengan keprihatinan atas luka HAM yang belum tertutup. Bahkan kini kita dipimpin oleh seorang Presiden penculik dan penjahat HAM, dengan Wakil anak haram konstitusi," tulis Gustika dalam unggahannya.

Gustika ingin menyampaikan bahwa bersedih tidak berarti pasrah, dan merayakan tetap bisa dilakukan sambil menyadari kondisi yang ada.

Ia memandang kain Slobog sebagai simbol transisi antara yang pergi dan yang tinggal, serta sebagai doa untuk keselamatan dalam "peralihan".

Dengan cara ini, ia berhasil menyampaikan kritik halus kepada pemerintah sambil tetap menghargai budaya dan sejarah leluhur.

Selain menjadi simbol kritik sosial, batik Slobog juga menunjukkan fleksibilitas budaya Jawa dalam menyampaikan pesan tanpa harus berbicara.

Filosofi di balik motif ini mengajarkan tentang kehidupan, kematian, dan doa bagi mereka yang telah perg.

Melalui pemakaian batik ini, Gustika menyampaikan pesan kritik dan refleksi terhadap kondisi bangsa, sekaligus menegaskan bahwa budaya tradisional tetap hidup dan relevan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa batik tidak sekadar soal keindahan, tetapi juga bisa menjadi media untuk menyampaikan nilai, kritik, dan harapan.

Batik Slobog yang semula hanya digunakan dalam upacara berkabung, kini dapat mendorong masyarakat untuk berdiskusi tentang sejarah dan kondisi politik bangsa.

Kontributor : Dini Sukmaningtyas

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI