Suara.com - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasional Demokrat Akbar Faisal menolak fraksinya disebut sebagai pengusul revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia menjelaskan Fraksi Nasdem ketika itu hanya disodori draft revisi untuk ditandatangani.
"Anda tahu nggak sejarahnya? kita disodorin temen-teman kami yang tak tahu pokok persoalannya. Disodorin untuk tanda tangan," ujar Akbar di Hotel Sari Pan Pacific, M. H. Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (14/10/2015).
Salah satu Ketua DPP Partai Nasdem mengaku fraksinya belum pernah melihat isi draft revisi UU KPK. Menurut dia, kalau seandainya tahu isinya secara detail, tentunya menolak tandatangan.
"Kalau kemudian kita diperlihatkan draft-nya, kemudian kita melihat ada pasal-pasal yang tidak punya standing, kan nggak mungkin mereka tanda tangan," kata Akbar.
Akbar ogah menjelaskan kepada awak media soal fraksi partai mana yang menyodorkan draft kepada Fraksi Nasdem. Ia hanya meminta jurnalis untuk mencari tahu sendiri soal itu.
"Saya nggak tahu. Cari tahu sendiri lah kalian," kata Akbar.
Saat ini, pemerintah dan DPR sepakat untuk menunda pembahasan revisi UU tentang KPK hingga masa persidangan DPR berikutnya. Pemerintah sekarang masih ingin fokus pada upaya pemulihan ekonomi.
Dalam draft RUU tentang revisi UU KPK yang dibagikan kepada anggota Badan Legislasi DPR dalam Rapat Pleno Baleg, Selasa (6/10/2015), antara lain menyebutkan pembatasan usia KPK selama 12 tahun yang tertuang dalam Pasal 5.
Dalam draft revisi juga disebutkan, KPK hanya dapat melakukan penyadapan setelah ada bukti permulaan yang cukup dan dengan izin ketua pengadilan negeri. KPK juga hanya dapat mengusut kasus korupsi dengan kerugian negara di atas Rp50 miliar dan tidak boleh melakukan penuntutan.
Revisi UU KPK sesungguhnya masuk dalam Prolegnas 2016 dan menjadi inisiatif pemerintah, tetapi sekarang diusulkan masuk menjadi RUU Prioritas Prolegnas 2015 dan menjadi inisiatif DPR.
Fraksi yang mengusulkan agar revisi UU KPK masuk Prolegnas 2015 dan menjadi inisiatif DPR