Pada 1 Mei 1998, kata Rizal, Pemerintahan Soeharto akhirnya menyetujui untuk menaikkan harga BBM sebesar 74 persen.
"Kemudian terjadi demo besar-besaran di Makassar, Medan, Solo, dan Jakarta. Ribuan orang luka-luka, ratusan meninggal, Rupiah anjlok dari Rp2.300 menjadi Rp15.000, ini apa yang dikenal dalam literatur sebagai kerusuhan yang diakibatkan oleh kebijakan IMF. Jadi akibat tiga kebijakan ini, terjadi lah kasus BLBI yang besar," ucap Rizal.
Ia juga menceritakan bahwa pada waktu itu pemilik-pemilik bank yang dibantu kredit BLBI pada dasarnya akan dibantu dengan uang tunai.
"Jadi minjam tunai jadi harus dikembalikan dengan tunai tetapi pada Pemerintahan Habibie dilobi diganti tidak usah bayar tunai tetapi asal menyerahkan aset saham, tanah, dan bangunan perusahaan. Kalau obligornya itu benar dia serahkan aset yang bagus yang sesuai dengan nialinya tapi juga ada kasus-kasus di mana dia menyerahkan aset busuk' yang nilainya itu tidak sepadan," kata Rizal.
Rizal mengaku dirinya dipanggil KPK kapasitasnya sebagai mantan Menko Perekenomian dan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada saat itu.
"Tetapi kejadian yang diselidiki oleh KPK ini terjadi setelah saya tidak lagi jadi Ketua KKSK dan tidak lagi jadi menteri tetapi oleh Menko yang baru di pemerintahan setelah Gus Dur. Saya dimintai keterangan karena saya ketahui prosedur proses dalam pengambilan keputusan masalah-masalah yang ada di BPPN. Sebelumnya, KPK juga sudah memanggil Kwik Kian Gie yang jadi Menko sebelum saya menjabat untuk mengetahui proses dalam prosedur yang terjadi," tuturnya.
Syafruddin Arsyad Tumenggung selaku Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan perekonomian negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada tahun 2004.
Atas penerbitan SKL itu, kerugian negara sekurang-kurangnya Rp3,7 triliun. Terhadap Syafruddin disangkakan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.