Selain itu, intimidasi dan teror atas pengguna media sosial bertentangan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 yang merupakan ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Konvenan Sipol). Beleid itu mewajibkan Negara untuk menjamin hak sipil dan hak politik setiap warga negaranya.
Itu sebabnya, AJI menyatakan, pertama, mengecam keras tindakan anggota ormas mengarahkan atau setidaknya, membiarkan, anggotanya memburu warga negara yang menggunakan haknya untuk berekspresi di media sosial. Keberatan atas pendapat seseorang seharusnya dihadapi dengan pendapat tandingan sehingga muncul diskursus yang sehat dan beradab di ruang publik, termasuk di media sosial.
Kedua, mendesak negara dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia untuk melindungi hak berekspresi warga negara, di ranah manapun termasuk media digital.
Ketiga, mengecam tindakan polisi membiarkan intimidasi dan teror atas kebebasan berekspresi, bahkan memfasilitasi ancaman pidana dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik atas status media sosial warga. Tindakan Polri semacam itu, katanya, tidak bisa dibenarkan dan justru melanggengkan ketakutan di benak publik untuk mengungkapkan pikirannya secara bebas dan terbuka.
Keempat, mengimbau semua pihak untuk ikut aktif menjaga kebebasan sipil dan politik yang sudah kita nikmati sejak era Reformasi Mei 1998 silam.
"Dukungan bisa disampaikan dengan bersolidaritas pada korban di media sosial maupun turun tangan menekan pemerintah untuk konsisten menjaga hak sipil dan politik warga. Jangan biarkan siapapun merampas kebebasan dan hak-hak kita," kata Arfi.