Suara.com - Kapolri Jenderal Tito Karnavian akan membentuk tim khusus untuk mengkaji upaya pemanggilan paksa yang diminta DPR dalam rangka penyelidikan hak angket.
Hal ini menanggapi keinginan Panitia Khusus Angket KPK yang meminta bantuan Polri untuk memanggil paksa KPK sebab lembaga antirasuah itu tidak mau datang dalam undangan Pansus dengan alasan masih ada uji materi terkait pembentukan Pansus di Mahkamah Konstitusi.
"Polri berprinsip bahwa kami akan mempertimbangkan dan akan membicarakan kembali secara internal kira-kira langkahnya apa yang akan diambil untuk sikapi ini. Termasuk mengundang ahli dari eskternal, ahli hukum tata negara, pidana, dalam rangka untuk menyikapi apa sikap polri," kata Tito dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Kapolri di DPR, Jakarta, Kamis (12/10/2017).
"Jangan sampai sikap Polri yang melaksanakan ini justru jadi boomerang dan disalahkan banyak pihak," tambah dia.
Tito berkeyakinan kalau setiap pemanggilan paksa harus diatur dalam hukum acara, yaitu KUHAP. Upaya pemanggilan paksa yang diminta DPR tidak diatur dalam KUHAP.
"Nah kalau liat di KUHAP, selama ini tidak mengenal pemanggilan paksa DPR. Termasuk istilah penyaderaan, selama ini yang berkaitan dengan tugas-tugas kepolisian itu tidak dicantum secara eksplisit di sana," kata dia.
"Nah ini menimbulkan keragu-keraguan dari kepolisian, menganut KUHAP yang tidak mengenal itu, atau ini sudah cukup dan bisa dipraktekan. Artinya akan ada kekosongan hukum tentang acara itu," tambahnya.
Pernyataan Tito kemudian disergah Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo. Bambang mengatakan kalau di dalam undang-undang tentang MD3, tertera bahwa DPR bisa melakukan upaya panggil paksa dengan meminta bantuan kepada Polri.
"Ini soal pemanggilan paksa? Yang kita sayangkan di undang-undang itu tertera kepolisian RI. Kalau perintahnya adalah pamdal, kita nggak minta tolong Polri," kata dia.
Baca Juga: Golkar: Tidak Akan Ada Perpanjangan Pansus Angket KPK
"Mohon saudara Kapolri ini dipikirkan. Karena ini persoalan bagi kita karena undang-undangnya sudah ada. Kalau itu (menolak panggil paksa) dilaksanakan ini kan mengurangi kewibawaan UU itu sendiri, kewibawaan negara, nah bagaimana cari jalan keluarnya, kan begitu," tambah Politikus Golkar ini.
Tito kemudian menerangkan bahwa dalam undang-undang yang dimaksud Bambang tidak menerangkan soal teknis acara pemanggilan paksanya. Karena itu, Polri belum bisa memberikan sikap untuk masalah ini.
"Persoalannya mngkin pada saat pembuatan UU itu tidak lengkap. Coba aja ada satu ayat atau satu pasal yang menyampaikan bahwa teknis acara pemanggilan paksa dan penyanderan disesuaikan dengan KUHAP, misalnya," kata Tito.
Pernyataan Tito kemudian ditanggapi oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Desmon J Mahesa. Dia kemudian membandingkan penanganan upaya panggil paksa yang diminta DPR sebelumnya. Desmon bercerita, pada saat Kapolri Jenderal Sutarman memimpin, Polri bisa bekerjasama dengan DPR untuk memanggil paksa seseorang.
"Ini pengalaman, bukan baru. Pernah dilaksanakan Kapolri sebelumnya, Pak Tarman (Kapolri Sutarman). Undang-undang itu ringkas dan padat. Ini menurut saya konsistensi Polri dipertanyakan, karena pernah terjadi DPR pernah meminta kepolisian, tidak ada rapat seprti ini untuk menterjemahkan UU. Tugas poolisi adalah melaksanakan hukum," kata Desmon.
Tito kemudian menjawab perbandingan yang diutarakan Desmon tadi. Kata Tito, saat itu orang yang dipanggil paksa akhirnya bersedia datang. Berbeda dengan yang dihadapi Polri saat ini, di mana orang yang akan dipanggil menolak untuk hadir dengan alasan hukum yang kuat.
"Kalau disampaikan Pak Desmon, sebelumnya ada pemanggilan, yang kemudian yang bersangkutan datang, fine dan kita happy," kata dia.