Diskriminatif, Qanun Jinayat Aceh Akan Diadukan ke MK

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 16 Oktober 2017 | 17:41 WIB
Diskriminatif, Qanun Jinayat Aceh Akan Diadukan ke MK
Terpidana menjalani hukum cambuk di halaman Masjid Desa Lambaro Skep, Banda Aceh, Aceh, Selasa (18/4).

”Pada satu kasus, ada aparat yang merekam orang yang diduga berzina dan mengarak korban yang tak berpakaian. Kemudian video itu disebar melalui media resmi pemerintah Aceh,” ungkapnya.

Hukuman Cambuk

Donna Swita, aktivis lainnya dalam jaringan tersebut, mengatakan hukuman yang diberikan kepada korban yang secara sepihak diklaim sebagai pelaku zina, homoseksual, maupun pelanggaran syariat lainnya juga tak adil.

”Dalam qanun itu disebutkan, sanksi yang diberikan ada tiga, yakni penjara, cambuk, atau denda emas. Namun, dalam proses penyelesaian kasus, banyak korban akhirnya terpaksa memilih hukuman cambuk karena paling sedikit konsekuensi yang harus ditanggung,” terangnya.

Ia menuturkan, korban yang dijerat memakai qanun itu mayoritas warga dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah atau rakyat miskin.

Alhasil, kalau mereka minta dihukum penjara otomatis tak bisa bekerja. Padahal, tak sedikit dari mereka yang menjadi tulang punggung keluarga.

Sementara sebagai warga miskin, mereka juga tak bisa membayar denda 100 hingga 200 gram emas untuk satu kasus.

”Nah, akhirnya, mereka hanya bisa memilih hukuman cambuk yang yang bertentangan dengan UUD 1945 maupun prinsip hak asasi manusia. Apalagi, dalam menjalani hukuman, tak sedikit algojo yang melakukan pelanggaran sehingga membuat cedera parah si terhukum,” jelasnya.

Derita korban qanun itu tak hanya sampai saat hari eksekusi. Sebab, kata Donna, korban qanun itu biasanya tak lagi diterima oleh masyarakat.

Baca Juga: Bernilai Miliaran Dolar AS, Pemerintah Perlu Atur Regulasi IoT

”Ada korban yang dagangannya tak lagi laku. Ada yang tak diterima bekerja. Bahkan, keluarga dan anak-anak mereka juga terkena imbas. Ada kasus yang tengah berlangsung, anak-anak korban tak diterima lagi bersekolah karena orang tuanya melanggar qanun,” tandasnya.

Untuk diketahui, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat adalah koalisi 18 organisasi nirlaba, di antaranya yakni Solidaritas Perempuan; Institut Criminal Justice Reform (ICJR); dan Human Rights Working Group (HRWG).

Selanjutnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); LBH Apik; Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI); Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta; Serikat Juenalis untuk Keberagaman (SejuK); LBH Masyarakat; KontraS Jakarta; LBH Jakarta; Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika; Yayasan Satu Keadilan Bogor; Pusat Studi Hukum dan Kebijakan; ELSAM; Cedaw Working Group Indonesia; Setara Institut; dan, Konde Institut.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI