KPA Akui Kriminalisasi Rentan Terjadi di Wilayah Ekspansi Bisnis

Kamis, 22 Februari 2018 | 07:07 WIB
KPA Akui Kriminalisasi Rentan Terjadi di Wilayah Ekspansi Bisnis
Ribuan massa menggelar unjuk rasa di kawasan Silang Monas, Jakarta, Rabu(27/9).

“Persoalan ini, diperparah karena penuntut bukan pegendali perkara (dominus litis). Hak ini menyebabkan bolak baliknya perkara antara penyidik dengan penuntut dan lebih parah daripada itu, adanya orang yang ditahan tetapi tidak pernah diajukan ke pengadilan,” jelasnya.

Hal tersebut kontras dengan permosisian elit politik sebagaimana diperlihatkan dalam UU MD3, dimana mereka merasa berhak untuk mempidanakan pengkritiknya. Namun aparat penegak hukum wajib meminta izin Presiden apabila hendak memeriksa anggota DPR. Sikap tersebut menunjukan betapa gemblangnya elit memproteksi diri dan kroninya ketika berhadapan dengan hukum, tetapi bersikap sebaliknya ketika masyarakat menjadi korban.

“Apabila kelompok buruh perkebunan yang mogok kerja dan petani menuntut haknya ynag diserobot korporasi dianggap melakukan tindakan kriminal, kepada siapa sebetulnya keberpihakan aparat penegak hukum Indonesia? Ketika perempuan korban kekerasan seksual dihukum karena dianggap berzina, bukankah berarti ada yang perlu dikoreksi?,” katanya.

Tak layak seorang perempuan berusia lebih dari 90 tahun dijatuhi hukuman penjara karena menebang pohon sebagaimana tak pantas petani yang lahir dari mencari nafkah di hutan, kemudian ditahan karena tindakannya tersebut.

“Dalam hingar bingar politik elektoral yang kian tak terdengar, kami merasa perlu menunjukan sikap dan keberpihakan pada mereka yang kian tepinggirkan suaranya. Angka-angka yang kami kutip hanya refleksi betapa dalam dan luasnya jangkauan kriminalisasi bagi sesama,” katanya.

Maka, perlu ada langkah jelas, terukur dan masiv untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban kriminalisasi karena minimnya keberpihakan serta rendahnya pemahaman pemerintah akan permasalahan yang dihadapi publik sehari-hari.

“Pemerintah sepatutnya malu apabila perempuan korban kekerasan alih-alih terpulihkan haknya sebagai korban justru terjerumus dipidana karena dianggap bersalah,” katanya.

Berdasarkan data dan pertimbangan, maka pihak dari YLBHI, KPA, PSHk, AMAN Solidaritas Perempuan, Kontras dan beberapa organisasi lainnya mendesak pemerintah agar pemerintah melalui aparatnya untuk:

1. Menghentikan segera bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat laki-laki mau pun perempuan yang sedang memperjuangkan hak-haknya.
2. Menggunakan alternatif penyelesaian sengketa di luar instrumen negara, mengedepankan HAM termasuk hak perempuan dalam penyelesaian konflik agraria, mengedepankan sikap persuasif dan akomodatif, serta inklusif, sensitive dan responsive.
3. Melakukan moratorium pembentukan perturan perundang-undangan yang mencantumkan sanksi pidana. Baik di tingkat pusat maupun daerah.
4. Meninjau ulang dan mencabut beberapa peraturan perundang-undangan dan pasal-pasalnya yang bermasalah dan berpotensi memidanakan masyarakat serta mendiskriminasi perempuan.
5. Mendorong diterimanya bab pemeriksaan peendahuluan kedalam Rancangan KUHAP, mencegah semakin besarnya peluang kriminalisasi di rancangan KUHAP.
6. Menurunkan pasal 66 UU no.32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup kedalam bentuk peraturan presiden.
7. Menghentikan tindakan represif aparat dan perlibatan polisi dan TNi dalam penanganan konflik agraria struktural
8. Mendorong pemberian grasi, amnesti, dan abolisi bagi masyarakat adat/lokal korban kriminalisasi.
9. Memastikan adanya pemulihan dan reintegrasi bagi perempuan korban kriminalisasi, baik pemulihan secara materil dan immateril.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI