Pada saat suasana represif itu, ia sempat mendengar isu ada perintah untuk melakukan tembak mati ditempat, walaupun ia lihat sendiri, tidak terjadi apa-apa saat itu.
”Malam 27 Juni saya dengar ada perintah tembak di tempat, tapi ternyata tidak ada,” ujar Fahmi di rumah 610 Gang Rode, yang kekinian menjadi markas Liga Forum Studi Yogyakarta (LFSY).
Ia mengungkapkan, ketika itu, tentara juga menyisir tempat lain untuk menemukan sekelompok orang yang dianggap terlibat dalam dari peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada tahun 1990an.
Pos-pos yang diduga disasar menurut Fahim di antaranya wilayah kampus UGM, UIN serta UNY. Para tentara sedang mencari para aktivis.
Pencarian itu menurutnya tak membuahkan hasil, walaupun para aktivis akhirnya berhasil ditemukan di Jakarta.
“Mencari di pos yang lain, tapi tak dapat, mungkin mereka dapatnya di Jakarta,” terangnya.
Fahim menginsyafi, ia dan teman-temannya tidak merasa khawatir terhadap militer kala itu.
Para aktivis yang memperjuangkan ruang demokrasi menyakini tindakannya benar,”Kami melakukan yang benar menurut kenyakinan kita,” lanjutnya.
Baca Juga: Stop Persekusi Ahmadiyah, Jangan Biarkan Bibit Terorisme Menyebar
Berhadapan dengan militer membuat para aktivis sering mendapat teror psikis secara terus menerus.
“Hampir setiap hari kami rasakan teror itu. Untuk melakukan rapat saja, harus sembunyi-sembunyi, agar tidak terendus militer,” ungkapnya.
Bahkan, dalam berkomunikasi pun, mereka tak sembarangan. Nyawa mereka begitu berarti dalam setiap detiknya, karena pengejaran masih terus berlangsung.
“Kami rapat sembunyi-sembunyi dari kosan ke kosan, dulu masih ada telepon umum, di kosnya ada nomor teleponnya, juga pakai surat disamarkan namanya,” terang Fahim.
Dua tahun berselang, 1998, aktivis Rode ikut turun ke jalan. Mereka membara di jalan Gejayan. Lokasi ini adalah titik kumpul para demonstran menuntut tumbangnya rezim Orba yang dipmpin Soeharto.