HUT ke-73 RI, Menjadi Kiri di Era Milenial

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 17 Agustus 2018 | 17:54 WIB
HUT ke-73 RI, Menjadi Kiri di Era Milenial
Ilustrasi pengambilan foto selfie. [Shutterstock]

Suara.com - Jumat, 17 Agustus 2018, masih pagi, ketika puluhan anak-anak SD berderap bersama di Jalan Dr Ciptomangunkusumo, Ciledug, Tangerang. Mereka berpawai merayakan HUT ke-73 Kemerdekaan RI. Sejumlah  guru menjaga barisan anak-anak tersebut, sembari memberi aba-aba “kiri...kiri...kiri....”

Diksi “Kiri” kekinian kerap dipakai oleh setiap instruktur untuk memberi aba-aba mendisiplinkan barisan, tak terkecuali dalam setiap pawai perayaan HUT Kemerdekaan RI.

Jauh sebelum zaman kiwari, istilah “Kiri” terebut pernah populer di kalangan elite politik, pemerintah, sampai para petani di desa-desa Indonesia, persisnya pada era Presiden pertama RI Soekarno. Namun, pada era Orde Baru, popularitas kata “Kiri” mengalami masa surut dan berganti menjadi stigma menakutkan bagi siapa pun.

Perlahan, ketika gelombang pasang reformasi melanda Indonesia pada medio 1990-an, istilah ”Kiri” kembali masuk dalam perbincangan politik, meski tak sepopuler era Bung Karno.

”Mengapa para pemimpin regu lomba gerak jalan atau pawai HUT kemerdekaan RI tidak mengucapkan kata ’kanan’? Itu adalah pertanyaan saya yang belum menemukan jawaban. Menurut saya, penggunaan kata ’kiri’ sungguh sangat tepat. Istilah ’kiri’ seharusnya menjadi biasa dalam perbincangan bangsa Indonesia,” kata Ahmad Ubaidillah, dosen Ekonomi Syariat di Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan, Jawa Timur, Jumat (17/8/2018).

Ia menjelaskan, ”Kiri” adalah kebiasaan sekaligus kesepakatan untuk membedakan dengan yang sebelah kanan. Terminologi ini memunyai makna lebih luas dalam pemikiran sosial politik, ekonomi, maupun kebudayaan.

Sebab, kata dia, terma ”Kiri” diidentikkan dengan sejumlah gagasan besar: menantang, melawan, merobohkan, dan menumbangkan setiap tradisi yang dianggap mapan.

Bung Karno, sebagai salah  satu perumus Pancasila, secara jujur mengatakan Pancasila sebagai ideologi berada dalam spektrum Kiri. Hal itu ditegaskan Bung Karno di sejumlah teks pidatonya yang dibukukan.

Misalnya, dalam buku ”Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965”—disunting Bonnie Triyana dan Budi Setiyono—disebutkan Pancasila adalah Kiri.

Baca Juga: Hadapi Timnas Indonesia U-23, Laos Tak Gentar

”Oleh karena itu saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa? Terutama sekali karena di dalam Pancasila ada unsur keadilan sosial. Pancasila adalah anti kapitalisme. Pancasila adalah anti explotation de’l home par l’homme. Pancasila adalah anti exploitation de nation par nation. Karena itulah Pancasila kiri,” demikian kata Bung Karno.

Anti Kiri

“Ironisnya, mereka yang anti-kiri mengklaim diri sebagai penyelamat Pancasila. Revolusi Indonesia, yang susah payah diperjuangkan sejak Agustus 1945, makin bergeser ke kanan. Pancasila pun hendak diselewengkan menjadi kanan. Tanggal 6 November 1965, misalnya, saat sidang paripurna Kabinet Dwikora di Istana Bogor, Bung Karno marah besar atas upaya menyelewengkan Pancasila menjadi kanan itu,” tutur Ubaidillah.

Dalam penafsirannya, Bung Karno mengartikulasikan Kiri tidak hanya anti-imperialisme atau penjajahan asing terhadap rakyat Indonesia.

Bung Karno, sambung Ubaidillah, memaknai Kiri secara luas, yakni anti terhadap segala bentuk eksploitasi (uit-buiting). Kiri menghendaki suatu masyarakat yang adil dan makmur.

”Pendek kata, Bung Karno mendefenisikan kiri sebagai sikap politik yang menentang segala bentuk pengisapan dan penindasan,” jelasnya.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI