Kubu Prabowo Ragukan Netralitas MK, 2 Peneliti Asing Ungkap Data Sebaliknya

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 14 Juni 2019 | 18:23 WIB
Kubu Prabowo Ragukan Netralitas MK, 2 Peneliti Asing Ungkap Data Sebaliknya
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman didampingi sejumlah Hakim Konstitusi memimpin sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/6). [Suara.com/Muhaimin A Untung]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Björn Dressel adalah Associate Professor pada Crawford School of Public Policy, Australian National University. Sementara Tomoo Inoue adalah Profesor bidang Ekonomi pada Seikei University, Tokyo, Jepang.

Dalam laman daring The Conversation, 11 Juni 2019, keduanya mengatakan, "Sejumlah orang ragu akan kenetralan MK. Sejak penangkapan para hakim MK, termasuk mantan hakim agung Akil Mochtar atas kasus penyuapan, di tahun 2013, publik menjadi meragukan kualitas lembaga tersebut."

Namun, keduanya menyajikan hasil penelitian mereka yang justru menunjukkan fakta berbeda: kurun waktu 2004 - 2018, tak ada bukti yang memengaruhi keputusan MK agar selalu mendukung rezim dalam kasus-kasus penting.

Penelusuran Suara.com, Jumat, Björn Dressel dan Tomoo Inoue sempat membuat penelitian empirik yang diterbitkan Constitutional Review, Vol 4 Number 2, Desember 2018, tentang independensi MK.

Dalam penelitian yang dipublikasikan dengan judul Megapolitical Cases before the Constitutional Court of Indonesia since 2004: An Empirical Study, keduanya menganalisis 80 putusan MK sejak tahun 2004 sampai 2018.

Sebanyak 80 putusan itu terkait kasus-kasus yang dianggap masuk kategori "megapolitik" dengan penentuannya berdasarkan pada: (1) pemberitaan pada halaman depan dua koran-koran referensi; (2) kutipan dalam publikasi-publikasi MK; dan, (3) penentuan ahli lokal.

“Kasus-kasus ‘megapolitik’ menjadi satu topik yang kami minati karena kita memperkirakan faktor-faktor personal dan politis menjadi faktor penting dalam perumusan putusan hakim dikarenakan sifat kekhasan dari masalah-masalah ini, dan juga lemahnya dasar doktrin dalam pengambilan putusan dalam perkara-perkara ini.”

Secara rinci, 80 kasus itu terdiri dari 28 persen sengketa pemilu; 33 persen kasus hak-hak individu dan kebebasan sipil; 24 persen soal pemisahan kekuasaan antarlembaga negara; 9 persen tentang ekonomi; dan 6 persen soal kekuasaan presiden.

"Pendapat individu setiap hakim pada 80 kasus ini menghasilkan 710 observasi. Outcome of interest atau variabel dependen dalam analisis regresi ini adalah, apakah sebuah putusan berlawanan dengan pemerintahan yang sedang menjabat,” demikian hipotesis penelitian mereka.

Baca Juga: Terima Berkas Perbaikan yang Diprotes KPU, Kubu Prabowo Angkat Topi ke MK

Keduanya juga mengumpulkan data sosio-biografis dari 26 hakim yang memberikan putusan atas kasus-kasus tersebut.

Misalnya, masa jabatan hakim di MK, universitas almamater hakim, tahun kelulusan, karier profesional, serta tempat bekerjanya sebelum diangkat sebagai hakim.

Data identitas hakim MK selama tahun 2004 - 2018. [Björn Dressel dan Tomoo Inoue]
Data identitas hakim MK selama tahun 2004 - 2018. [Björn Dressel dan Tomoo Inoue]

Dalam kurun waktu 14 tahun tersebut, 26 hakim diangkat dan 10 diangkat ulang. Rinciannya, 9 hakim pada masa Presiden Megawati, 20 hakim masa Presiden SBY, dan 7 hakim pada era Jokowi.

Hasil penelitian Björn Dressel dan Tomoo Inoue tergolong unik, karena 41 kasus atau 51 persen dari total 80 perkara, diputuskan dengan suara bulat panel hakim MK.

Namun, pada 39 kasus atau 49 persen dari total perkara yang digarap, setidaknya ada 1 hakim yang menyatakan tidak setuju terhadap putusan atau memberikan dissenting opinion.

Data kasus hakim-hakim MK yang dissenting opinion selama tahun 2004 - 2018. [Björn Dressel dan Tomoo Inoue]
Data kasus hakim-hakim MK yang dissenting opinion selama tahun 2004 - 2018. [Björn Dressel dan Tomoo Inoue]

Jumlah maupun persentase hakim MK yang berbeda pendapat saat memutuskan perkara megapolitik, terus menurun setiap tahun hingga pada era rezim Presiden Jokowi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI