Suara.com - Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia, Prof Adrianus Meliala menyoroti
tragadi pembunuhan Bripka Rahmat Efendy akibat ditembak mati rekan polisinya, Brigadir Rangga Tianto.
Dia menilai insiden berdarah yang terjadi di Polsek Cimanggis pada Kamis (25/7/2019) malam itu dipicu adanya masalah pribadi seorang polisi yang tidak punya kontrol diri dan tak matang sebagai aparat hukum.
"Kejadian ini bisa terjadi bila pelaku kemungkinan tidak punya kontrol diri yang kuat dan kematangan pribadi yang tidak kuat," kata Adrianus kepada Antara saat dihubungi di Jakarta, Jumat (26/7/2019).

Pakar kriminologi ini mengatakan melihat kasus ini dari sudut pandang individual seorang anggota Polisi, jangan dilihat dari sisi institusi Polri.
Karena, lanjut Adrianus, sebagai individu, anggota polisi dalam hubungan kerja bisa memiliki konflik dengan sesama individu lainnya.
"Konflik yang begitu tajam bisa menimbulkan emosi dan itu menjadi mungkin karena polisi juga manusia, bisa marah, bisa kesal," terangnya.

Yang menjadi permasalahan, lanjut dia, pelaku Brigadir Rangga Tianto sebagai individu yang memiliki akses terhadap senjata api. Sehingga ketika kontrol diri dan kepribadiannya tidak kuat jadi kebablasan menggunakan senjata tajam untuk memuaskan egonya.
Berbeda dengan orang awam apabila emosi hanya bisa melampiaskan dengan cara meninju meja atau tembok.

Mantan anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) itu mengatakan ada kemungkinan pelaku tidak marah dengan rekan sejawatnya hingga melayangkan tembakan, tetapi karena ada persoalan di dalam dirinya.
Baca Juga: Dibunuh Rekan Polisi, Pimpinan Upayakan Naikkan Pangkat Bripka RE
Menurut Adrianus, pelaku kemungkinan sudah janji kepada orang tua anak pelaku tawuran yang ditangkap atau kepada masyarakat bahwa dia akan membereskan kasus tersebut.
"Jadi dia (Brigadir Rangga) dengan amat bangga menjamin pada orang tua pelaku tawuran ini bahwa dia bisa kok meng-handel masalahnya bisa buat anaknya bebas kembali, sambil membawa orang tuanya ke kantor polisi," katanya.
"Ternyata pelaku ketemu dengan atasannya (Bripka Rahmat Effendy) yang dengan gampangnya mengatakan tidak bisa dengan alasan sedang diproses," katanya.
Pada situasi itu, lanjut Adrianus, bisa dibayangkan pelaku malu, atau bahkan jatuh harga dirinya di depan masyarakat yang sudah dijanjikan anaknya akan bebas.
Kondisi ini, bila dihadapi oleh orang yang berkepribadian yang kuat, maka akan menyampaikan kepada orang tua pelaku tawuran bahwa sistem tidak membolehkan karena harus diproses, meskipun dia sudah berjanji.
"Itu cara orang yang berkepribadian kuat, tapi pelaku ini (Brigadir RT) mengikuti marahnya, egonya," kata Adrianus.