Orasi Budaya Garin Nugroho: 5 Paradoks Revolusi Industri Digital

Kamis, 08 Agustus 2019 | 08:18 WIB
Orasi Budaya Garin Nugroho: 5 Paradoks Revolusi Industri Digital
Garin Nugroho membacakan orasi budaya dalam ulang tahun AJI ke-25 [Suara.com/Ummi Hadyah Saleh].

Suara.com - Sutradara Garin Nugroho menghadiri Malam Resepsi Ulang Tahun ke 25 Tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Hotel JS Luwansa Jakarta, Rabu (7/8/2019) malam.

Di acara ini, Garin membacakan orasi budaya dengan tema "Hilangnya Kemampuan Menarasikan Realitas Bangsa dan Tantangan di Era Milenial".

Ketua Umum AJI Abdul Manan di malam resepsi ulang tahun ke-25 AJI di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat, Rabu (7/8/2019). (Suara.com/Umay Saleh)
Ketua Umum AJI Abdul Manan di malam resepsi ulang tahun ke-25 AJI di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat, Rabu (7/8/2019). (Suara.com/Umay Saleh)

Garin menuturkan salah satu cara membaca masa depan adalah menengok ke belakang untuk membaca bagaimana daya hidup bangsa Indonesia mengelola momentum perubahan di setiap periode sejarah, khususnya dalam hubungannya dengan revolusi Industri berbasis teknologi.

Kata Garin, membaca Indonesia di era revolusi industri 1.0 juga ditandai dengan mesin uap serta pergantian tenaga manusia dengan mesin.

Membaca Indonesia yang dahulu disebut Hindia Timur di era VOC yang dinarasikan lewat beragam media dari sketsa dan lukisan Raden Saleh tentang beragam jenis flora hingga fauna, lukisan Mooi Indie, novel Conrad tentang gambaran manusia Melayu, catatan perjalanan, sketsa perang sebutlah perang Jawa, catatan riset, iklan turisme, seni pertunjukan, koran–koran maupun fotografi dan film. Bahkan penyebutan nama Indonesia di mulai di jurnal ilmiah ilmuwan Berlin.

Dengan kata lain, Garin mengatakan keindonesiaan di era 1.0 dinarasikan oleh beragam bentuk media, layaknya perspektif jurnalisme era 4.0 yang menuntut jurnalisme dalam perspektif multimedia, menggabungkan teks, suara hingga visual.

"Sejarah juga mencatat, revolusi teknologi senantiasa melahirkan paradoks, sebutlah antara lompatan versus ketertinggalan, harapan versus tragedi, penemuan versus kehilangan hingga penguasaan teknologi versus ketimpangan akses," ujar Garin Nugroho dalam orasinya.

Karenanya muncul pertanyaan sederhana, apakah bentuk–bentuk narasi di era 1.0 ini mampu menarasikan realitas sosial ekonomi dan politik periode awal liberalisme ekonomi terbesar itu.

Garin mengatakan sejarah mencatat, liberalitas ekonomi berbasis revolusi indusri 1.0 menunjuk hilangnya narasi perihal realitas ketimpangan hingga ketidakpuasan sosial ekonomi beserta tragedi kemanusiaannya.

Baca Juga: Seru, Jet Formula UGM Bakal Bertarung di Jepang

Kenyataan ini, kata Garin mulai terungkap lewat munculnya desakan politik etis awal abad 20 yakni ditandai lahirnya beragam narasi, meski sangat minoritas, lewat novel hingga koran–koran.

"Sebutlah novel Multatuli maupun tulisan–tulisan generasi awal jurnalis seperti Tirto Adhi Soeryo. Haruslah dicatat, peran jurnalis 1.0 adalah pemberi narasi humanisme di tengah perubahan sosial ekonomi dalam revolusi industri yang penuh paradoks," tutur Garin.

Laman berikut membincangkan soal kaum Bumi Putera dalam bertahan terhadap VOC, hingga Microsoft.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI