"Dalam komentar saya pada ANTARA di awal proses pemilu, saya katakan bahwa pemilu ini akan menjadi pemilu banal menyisakan konflik horizontal yang besar, politik uang masif dan penggunaan media sosial tanpa etika. Paling menyedihkan, pemilu kehilangan peran civic education. Catatan ini pun saya tulis dalam buku "Negara Melodrama" yang saya terbitkan di awal Pemilu," ujar Garin Nugroho.
Garin Nugroho menuturkan membaca pemilu 2019 adalah membaca ketika teknologi kapitalis baru serba online yang dipegang di tangan warga, justru mengembangbiakkan warisan revolusi industri 1.0, 2.0 dan 3.0 serta menjadi ruang subur politik identitas dan post truth.
![Ilustrasi Pemiliu 2019. [Antara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2019/04/10/69667-ilustrasi-pemilu-2019.jpg)
Contohnya kata Garin, warga melihat pemimpin layaknya kultur penggemar, pemimpin sebagai diva, akibatnya tidak akan mungkin mendialogkan kelemahannya.
"Pada gilirannya, melahirkan dukung-mendukung yang banal serba radikal. Contoh lain adalah menjamurnya pola kampanye politik sebagai hiburan penuh kemasan. Pemilu juga menunjukkan era terbesar gabungan korporasi dengan politik dan militer, di sisi lain langkanya peran kepemimpinan humaniora di berbagai masalah berbangsa," kata Garin.
Pemilu kata dia juga mengisyaratkan, warisan melek huruf namun bukan melek baca dan melek fungsional, menjadikan media sosial sebagai ruang terbesar hoaks. Pada akhirnya, pemilu melahirkan beragam jenis pemimpin media sosial, dihidupi oleh dunia penggemar yang fanatik. Pemilu kehilangan pemimpin kebangsaan alias negarawan.
Lebih lanjut, Garin menyebut uraian kecil inimenunjukkan berbagai paradoks revolusi industri 4.0.
Pertama, kata dia, revolusi industri 4.0 di Indonesia tumbuh tidak dalam masyarakat sipil yang mempunyai kelengkapan institusi nilai-nilai publik, guna mampu mengolah, menjaga, menyesuaikan dan menganalisa setiap perubahan jaman dalam kaitannya dengan realitas berbangsa di beragam sendi kehidupan.
Kemudian kedua, revolusi industri 4.0 tidak berjalan linear, namun campur aduk dengan warisan revolusi industri 1.0, 2.0, 3.0.
Percampuran menurutnya melahirkan paradoks luar biasa. Oleh karena itu, kata Garin, membangun masyarakat adab lewat revolusi industri 4.0 selayaknya dibangun atas pembongkaran sungguh-sungguh warisan revolusi sebelumnya, sekaligus menuntut beragam managemen manusia milenial genial yang fasih teknologi baru sebagai daya hidup masa depan bangsa.
Baca Juga: Seru, Jet Formula UGM Bakal Bertarung di Jepang
Selanjutnya ketiga, warisan rendahnya melek fungsi dan rendahnya etika profesi serta etika publik di tengah arus deras kultur masa sebagai pasar ekonomi, ataupun kultur serba masa akibat Pemilu langsung, mendorong lahirnya demokrasi massa yang sulit bertumbuh berkualitas. Demikian juga mendorong lahirnya elit politik baru, yakni politikus media sosial yang tidak cukup berkualitas serta teruji sebelumnya dalam kerja pemberdayaan langsung di masyarakat, namun terampil tampil di media sosial dan mengelola followers. Kekhawatiran ini muncul, mengingat kaderisasi partai tidak berjalan kuat dan poitik uang sangat masif dalam Pemilu.
Ia khawatir revolusi industri 4.0 hanya menjadi penyuburan mengelola massa serta ruang penyuburan demokratisasi serba maya sekaligus ruang sosialisasi kerja pemerintahan yang kehilangan narasi realitas.
"Keempat, jika kerja menuju revolusi 4.0 tidak disertai membangun dasar-dasar masyarakat sipil yang sehat, kritis dan produktif, maka jalan digital hanyalah menjadi infrastuktur layaknya infrastruktur jalan era revolusi 1.0, menjadi jalan bagi korporasi global menguras kekayaan alam dan menumbuhkan konsumerisme. Jalan digital hanya menjadi jargon keberhasilan dan kerja politik semu di media sosial, sebuah dunia maya yang berbeda dengan realitas sosial berbangsa.
Kelima, kerja membangun revolusi 4.0 kata Garin haruslah disertai strategi budaya, yakni cara pikir, bertindak dan bereakasi dalam dunia baru digital guna mewujudkan kerja serius membangun manajemen talenta baru manusia milenial Indonesia, khususnya menumbuhkan kelas menengah profesional milenial baru yang kuat dan mandiri agar tidak menjadi kelas menengah penuh ketergantungan sehingga tidak mampu mandiri ekonomi, politik dan keadilan.
Laman berikut adalah tentang warga berkewajiban mengelola momentum era milenial.