Suara.com - Gelombang perdagangan manusia di Nusa Tenggara Timur, seolah belum bisa dibendung. Hingga Agustus ini, sudah 75 jenazah Tenaga Kerja Indonesia tiba di NTT. Tragedi yang dialami Yosep Malo menggambarkan kejamnya praktik kejahatan ini.
Tidak banyak yang bisa diingat Silvester Bulo Malo, tentang apa yang terjadi pada hari ketika adiknya, Yosep Malo memutuskan pergi ke Malaysia. Pada 2008, tetangga desa di Sumba Barat Daya menawarkan pekerjaan. Sebelum Yosep Malo pergi, ada 12 warga wilayah itu yang berangkat. Rombongan Yosep juga berjumlah 12 orang.
Namun, sejak kepergian itu, tak pernah ada kabar datang. Yosep Malo juga tidak sekalipun pulang ke kampung halaman selama 11 tahun. Tiba-tiba, pria kelahiran 1986 itu dikabarkan meninggal dunia pada 3 Agustus 2019 lalu, dan beritanya baru sampai ke keluarga dua hari kemudian. Keluarga pun sedih dan kecewa dengan semua yang terjadi.
“Kami ada merasa tidak puas, selama 11 tahun Yosep tidak pernah ada kabar, kok tiba-tiba ada berita meninggal. Kami pihak keluarga tidak bisa menerima ini. Apalagi selama jenazah masih di rumah, sebelum pemakaman, itu orang yang dulu mendaftar tidak datang melayat ke rumah,” kata Silvester, dilansir VOA Indonesia.
Silvester bercerita, sebelum ini keluarga pernah menemui orang yang mengatur kepergian Yosep Malo secara ilegal ke Malaysia. Setelah tidak ada kabar dalam beberapa tahun pertama, mereka khawatir sesuatu yang buruk terjadi. Namun, calo yang masih tetangga desa itu mengatakan, Yosep Malo baik-baik saja.
Jenazah Ke-74

Yosep Malo adalah jenazah ke-74 Pekerja Migran Indonesia (PMI) tahun ini. Hari Minggu, 18 Agustus kemarin, tiba pula di Bandara El Tari Kupang, jenazah PMI atas nama Nasrun, yang berasal dari Ende, NTT.
Dengan demikian, hingga pekan ini sudah 75 PMI meninggal di luar negeri, khusus dari NTT. Mayoritas mereka adalah korban perdagangan orang. Data 2018 misalnya menunjukkan, dari 105 jenazah yang pulang ke NTT, hanya tiga yang berangkat secara legal ke luar negeri.
Bersama jenazah yang tiba pada 10 Agustus lalu, keluarga hanya diberi kabar bahwa Yosep sempat sakit di Malaysia. Badannya mengalami bengkak, tetapi tidak dijelaskan jenis penyakit yang diderita. Selain itu, keluarga akhirnya juga tahu bahwa calo yang membawa Yosep tidak mengantar sendiri para pekerja itu ke perkebunan yang mempekerjakan mereka.
Baca Juga: Seram, Industri Pariwisata Jadi Sasaran Utama Perdagangan Orang
Menurut Silvester, berdasar cerita yang mereka terima, di tengah jalan rombongan pekerja itu dulu diserahkan ke pihak lain.
Yang lebih menyakitkan lagi, beberapa hari setelah meninggalnya Yosep Malo, keluarga menerima uang Rp 7.035.000. Itulah uang yang ada dari hasil bekerja selama 11 tahun. Padahal Yosep tidak pernah menggunakan uang untuk pulang kampung, dan juga tidak pernah mengirim hasil kerjanya ke keluarga.
Salah satu kerabat Yosep, Andrianus Bulu Milla kepada VOA bercerita, tak ada uang lain yang diterima pihak keluarga sejauh ini.
“Kami sendiri kurang tahu, siapa yang membiayai pengiriman jenazah, kemungkinan perusahaan tempat dia bekerja. Kalau uang itu sendiri, sudah digunakan dalam proses pemakaman dan lain-lain, kemungkinan sudah habis karena budaya Sumba butuh uang dalam pemakaman,” kata Andrianus.
Keluarga tidak tahu, apakah uang Rp 7.035.000 itu adalah tabungan hasil kerja Yosep ataukah memang itulah gajinya selama 11 tahun bekerja. Sampai saat ini, pekerja lain yang berasal dari desa-desa di sekitar mereka, juga belum memberi keterangan karena komunikasi yang terputus.
Andrianus mengatakan, bekerja di Malaysia memang menjadi salah satu pilihan bagi banyak warga desa untuk memperbaiki kehidupan. Sulitnya menemukan pekerjaan di kampung halaman mendorong mereka mengambil resiko itu.