Sejak dulu, Arief memang tidak ingin pariwisata gaduh dan penuh polemik pro kontra. Karena ekosistem di pariwisata dan ekonomi kreatif itu sangat sensitif dengan ketidakpastian.
Mereka adalah industri yang harus menjaga hospitality, keramahtamahan, dan kesantunan. Negara pasar juga mudah bereaksi dengan travel advice, jika situasi tidak kondusif.
“Thailand benchmark yang bagus. Mereka cepat recovery pasca krisis politik di negaranya. Kita juga harus banyak mengisi waktu untuk optimistik. Belajar dari Negeri Gajah Putih, pesaing profesional kita di pariwisata, itu,” jelas Arief.
Mengapa kita butuh pesaing?
“Itu pertanyaan bagus. Agar kita terus memberikan service excellent, selalu melayani yang terbaik. Bahkan kalau tidak ada pesaing pun, kita harus cari pesaing, atau sparing partner, jadi terus berkompetisi dan mengejar juara,” jawab lelaku asli Banyuwangi yang hobi berkebun ini.
Bahkan sampai akhir masa kepemimpinan Arief, Oktober 2019, Indonesia masih masuk ranking 1 dari Top 20 Besar Dunia dari Readers Choice Awards 2019, yang dikeluarkan media Condé Nast Treveler, yang dipilih oleh para pembaca dan viewers-nya dari seluruh dunia.
Indonesia nomor 1, disusul Thailand, Filipina no 8, dan Vietnam 10. Hanya 3 negara itu di ASEAN yang masuk top 20.
Banyak orang yang menyangka awards itu tidak berarti apa-apa. Dalam ilmu branding, itu sangat diperlukan.
Setidaknya ada 3C. Pertama, Calibration. Artinya Indonesia mengalahkan banyak negara itu, sudah melalui kriteria yang sama, global standard, sudah dikalibrasi dengan acuan yang sama.
Baca Juga: 3 Senjata Pamungkas Kemenpar Gaet 20 Juta Wisatawan
Kedua, Confidence! Percaya dirinya meningkat, karena Indonesia bisa mengalahkan banyak negara yang hebat di pariwisata. Indonesia paling banyak dibicarakan di online media.