Perluasan Perkebunan Sawit, Ancaman bagi Lingkungan maupun Tradisi

Chandra Iswinarno Suara.Com
Selasa, 10 Desember 2019 | 18:46 WIB
Perluasan Perkebunan Sawit, Ancaman bagi Lingkungan maupun Tradisi
Seorang pemanen purun menambatkan perahu keteknya sebelum melakukan pemanenan di lebak purun Arang Tetambun, Jumat (09/05/2019). [Foto: Ibrahim Arsyad]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Meski tingkat kerumitan terbilang tinggi, sehelai tikar berukuran 2x1 meter hanya dihargai pengepul Rp 10.000. Dari hasil penjualan tersebut, keuntungan dari jerih payah mereka hanya mencapai Rp 3.000 setiap helainya. Sementara, Rp 7.000 untuk menebus bahan baku tikar (purun).

Penyuluh Industri Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Kabupaten OKI Didi Iswardi mengakui pemerintah daerah tidak memiliki catatan produksi tikar purun atau turunan lainnya.

“Hingga saat ini, kami tidak memiliki catatan terkait produksi purun dan juga sebaran penjualannya,” kata Didi pada Jumat (10/05/2019) silam.

Namun, ia mengatakan pemerintah daerah terus memantau dan berupaya memaksimalkan potensi kerajinan purun sebagai sektor penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Salah satunya melalui pendampingan, sehingga kerajinan yang dihasilkan bukan hanya tikar, tetapi juga tas, dompet, topi, sandal dan bentuk lainnya.

Sementara di Pampangan, petani perempuan dan ibu rumah tangga juga menunjang perekonomian keluarga mereka dengan mengolah susu (puan) kerbau ras Pampangan (Bubalus bubalis) yang hidup dan digembalakan di rawa-rawa, terutama di Desa Kuro dan Desa Bangsal.

Sukenah (54) salah satu pengerajin susu kerbau rawa di Desa Kuro, saat mengola susu kerbau menjadi gula puan Sabtu (10/05/2019). Gula puan salah satu olahan berbahan baku susu kerbau yang bernilai ekonomi tinggi, yang masih menjadi penghasilan tambahan. [Foto: Ibrahim Arsyad]
Sukenah (54) salah satu pengerajin susu kerbau rawa di Desa Kuro, saat mengola susu kerbau menjadi gula puan Sabtu (10/05/2019). Gula puan salah satu olahan berbahan baku susu kerbau yang bernilai ekonomi tinggi, yang masih menjadi penghasilan tambahan. [Foto: Ibrahim Arsyad]

Dari susu kerbau warga mengolahnya menjadi gula puan, sagon puan, juadah puan, srikaya puan dan minyak yang dikenal mereka sebagai minyak sapi.

“Olahan (susu kerbau rawa) ini sudah ada dari nenek-nenek kami. Dulu makanan ini dibuat ketika ada acara adat saja,” tutur seorang perajin susu kerbau rawa di Desa Kuro Sukenah (54) pada Sabtu (11/05/2019).

Setiap satu kilogram gula puan dijual dengan kisaran harga Rp 80.000, sementara sagon puan Rp 150.000 per kilogramnya. Sepuluh liter susu kerbau dapat menghasilkan empat kilogram gula atau sagon puan.

Kepala seksi Pembibitan dan Produksi Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten OKI Zulkarnain memaparkan, populasi kerbau rawa ras Pampangan terus menurun.

Baca Juga: Orangutan Terkapar di Kebun Sawit, 24 Peluru di Badannya hingga Mata Buta

“Dari hasil pemantauan, populasi kerbau rawa yang ada di daerah (OKI) ini, terus mengalami penurunan. Dalam setahun itu bisa mencapai ratusan penurunan populasinya,” katanya.

Populasi kerbau rawa ras Pampangan, menurutnya, saat ini kurang lebih 3.400 ekor.

"Sebanyak 1.500 ekor lainnya berada di Pangkalan Lampam, Kecamatan Jawi dan Kecamatan Pedamaran", katanya.

Restorasi Melalui Kearifan Lokal

Jauh sebelum hadirnya perkebunan kelapa sawit di wilayah Pedamaran (Pedamaran dan Pedamaran Timur), masyarakat menggunakan lahan secara arif. Bahkan, wilayah tersebut jauh dari peristiwa kebakaran.

Pemanfaatan secara arif dilakukan warga dengan menjadikan lahan gambut dangkal yang berbatasan dengan sungai untuk lahan persawahan dan menjadi habitat bagi tanaman purun.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI